GenSyiah - Peristiwa tragis yang menimpa Suriah, Irak dan Lebanon serta negara-negara Islam lainnya yang dilanda gelombang aksi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme menunjukkan fenomena baru meningkatnya aksi takfiri di kawasan Barat dan barat daya Asia. Selama tiga tahun terakhir krisis Suriah menunjukkan bahwa kaum takfiri bukan pengusung Islam sejati, dan hanya menggunakan simbol-simbol agama suci ini sebagai kedok demi mencapai tujuan busuknya. Sebab ajaran Islam menjunjung tinggi keadilan, perdamaian dan menentang cara-cara kekerasan dan aksi terorisme sebagaimana yang ditampilkan secara brutal oleh kelompok-kelompok takfiri seperti Front al-Nusra, Negara Islam Irak dan Syam (DIIS) dan lainnya.
Pemerintah Arab Saudi sebagai pendukung utama gerakan takfiri internasional menghadapi jalan buntu atas kebijakannya menyebarluaskan friksi di kawasan dan kini terang-terangan menunjukkan dukungannya terhadap kelompok teroris. Berbagai gerakan takfiri internasional yang melancarkan aksi teror dan kekerasan di Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, Afghanistan dan Pakistan mendapat dukungan langsung dari rezim Al-Saud.
Kepala intelijen Arab Saudi Pangeran Bandar bin Sultan selama ini menjadi dalang di balik merebaknya aksi terorisme di negara-negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Profesor James Petras menyebut Bandar menjadi dalang "Jaringan Teror Saudi" dengan memasuk keuangan, senjata dan pelatihan bagi kelompok takfiri internasional. "..data yang dikumpulkan mengenai asal usul kelompok-kelompok ini dan pembiayaannya, kami sampai pada kesimpulan bahwa Bandar Bin Sultan menjadi dalang dan pemodal utama dari operasi ini, " kata Profesor Binghamton University di New York. Bandar yang pernah menjabat sebagai duta besar Saudi untuk AS dikenal memiliki hubungan dekat dengan mantan Presiden AS George Bush, dan merupakan penganjur invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.
Gelontoran dana besar-besaran pemerintah Arab Saudi terhadap kelompok-kelompok teroris takfiri yang tersebar di berbagai negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara mungkin saja dalam jangka pendek bisa melanjutkan aksi kekerasan dan teroris itu. Tapi dalam jangka panjang kondisi tersebut tidak ada jaminannya akan bertahan lama. Gerakan takfiri yang menyebar ke berbagai negara dunia telah mencapai puncaknya.
Negara-negara Barat dan sekutunya di kawasan menciptakan krisis berdarah di Suriah dan mendukung kelompok-kelompok takfiri demi mencapai berbagai tujuan. Tujuan pertama untuk menggulingkan pemerintahan Suriah dan mengeluarkan negara ini dari front terdepan melawan rezim Zionis Israel. Tujuan kedua memusatkan berbagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan al-Qaeda dan kelompok takfiri lainnya di Suriah dalam satu koordinasi dengan target menggulingkan pemerintahan Assad. Namun alih-alih dua tujuan itu tercapai, kelompok-kelompok teroris takfiri itu saat ini telah menjadi ancaman bagi keamanan dan stabilitas kawasan Timur tengah dan Afrika Utara. Tujuan ketiga adalah menggunakan krisis Suriah sebagai cara untuk mengobarkan friksi mazhab dan persengketaan di tubuh umat Islam sendiri. Tapi secara bertahap konspirasi ini mulai terbongkar.
Secara pemikiran antarkelompok teroris memiliki warna yang sama sebagai gerakan takfiri yang mengafirkan kelompok lain dan hanya mengklaim dirinyalah yang benar, kemudian menggunakan segala cara untuk membungkam pihak lain. Meski demikian, mereka sendiri tidak bersatu dan saling bersengketa hingga terjadi pertumpahan darah. Misalnya, Front al-Nusra yang berafiliasi dengan kelompok teroris al-Qaeda bertempur di Suriah dengan Negara Islam Irak dan Syam (DIIS). Kedua kelompok takfiri ini terlibat baku tembak yang menyebabkan puluhan anggota kubu teroris ini tewas dan sejumlah lainnya luka-luka. DIIS yang mendeklarasi khilafah Islam di Irak dan Suriah mengklaim kedua negara itu sebagai "Emirat Islam" yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Sedangkan Front al-Nushra yang juga mengklaim mendirikan Khilafah di Suriah tidak menerima klaim DIIS. Meskipun mengklaim mengusung simbol Islam, tapi sejatinya kedua kelompok teroris ini sangat jauh dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam sendiri. Berbagai kejahatan yang dilakukan kedua kelompok teroris tersebut bersama faksi takfiri lainnya yang beroperasi di berbagai negara Muslim seperti Suriah menunjukkan bahwa mereka hanya menjadikan Islam sebagai kedok semata.
DIIS baru-baru ini mengeksekusi ratusan anggota kelompok bersenjata rivalnya sesama teroris dari kelompok lain. Alalam (14/1) melaporkan, anasir DIIS mengeksekusi Abu Saad al-Khadrami, bersama lebih dari 100 anggota kelompok Jabhah Islam. Kelompok-kelompok teroris di Suriah khususnya DIIS, Front al-Nusra dan Jabhah Islam, yang mendapat dukungan dari Arab Saudi dan Amerika Serikat terlibat bentrokan berdarah sejak 3 Januari 2014. Bentrokan dan pertempuran antar kelompok teroris itu dipicu oleh perebutan bantuan finansial dan persenjataan dari Barat. Kelompok-kelompok teroris di Suriah saling berusaha menyingkirkan rival mereka agar mendapat bantuan dana dan senjata lebih banyak
DIIS yang kalah secara berturut-turut menghadapi pasukan militer Suriah memusatkan operasinya di provinsi al-Anbar, wilayah barat Irak. Sebagaimana yang mereka lakukan di Suriah, DIIS melancarkan berbagai aksi kekerasan di negeri kisah 1001 malam itu. Tapi aksi kelompok teroris ini menghadapi perlawanan dari pasukan militer dan rakyat Irak. Di sisi lain, sepak terjang kelompok teroris menyibak topeng yang selama ini disembunyikan Arab Saudi sebagai pendukung utamanya. Dengan terbongkarnya tujuan di balik gelombang aksi teror yang dilancarkan kelompok takfiri itu, muncul reaksi bersama dari berbagai kelompok agama dan masyarakat serta pemerintah di Suriah,Irak, Lebanon dan negara Islam lainnya menghadapi gelombang serangan kelompok-kelompok takfiri yang mengancam keamanan dan stabilitas kawasan Timur tengah dan Afrika Utara.
Pada saat yang sama, akhir tahun 2013, Majelis Umum PBB akhirnya mengesahkan resolusi usulan Presiden Iran Hassan Rohani untuk Dunia Menentang Kekerasan dan Ekstremisme (WAVE). Anggota Majelis Umum PBB pada hari Rabu (18/12) dengan suara bulat, menyetujui WAVE, yang menyerukan semua negara di dunia untuk mengecam kekerasan dan ekstremisme. Berdasarkan resolusi itu, PBB akan mendesak semua negara anggota untuk bersatu melawan kekerasan dan ekstremisme dalam berbagai bentuk dan kekerasan sektarian.
Resolusi itu diharapkan akan mendorong para pemimpin dunia untuk membahas penyebab ekstremisme dan diskriminasi serta mengembangkan strategi bersama untuk mengatasinya. Dokumen itu juga akan merekomendasikan promosi keterlibatan masyarakat dalam melawan ekstremisme dan kekerasan, termasuk dengan memperkuat hubungan antara masyarakat dan menekankan kepentingan bersama. Sebelumnya, pada tanggal 24 September, Presiden Iran menyerukan Dunia Menentang Kekerasan dan Ekstremisme dalam pidatonya pada sidang ke-68 Majelis Umum PBB di New York.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa gelombang takfiri dan kekerasan tidak akan bertahan lama, sebab tidak sesuai dengan fitrah manusia yang menghendaki keadilan dan perdamaian. Hidupnya gerakan takfiri hanya bertahan dengan pasokan finansial dan senjata dari sejumlah negara Arab dan Barat. Tanpa gelontoran dukungan tersebut, kelompok takfiri hanya menjadi gerakan lemah yang tidak memiliki akar yang kuat dalam masyarakat.
Sumber: IRIB
Kepala intelijen Arab Saudi Pangeran Bandar bin Sultan selama ini menjadi dalang di balik merebaknya aksi terorisme di negara-negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Profesor James Petras menyebut Bandar menjadi dalang "Jaringan Teror Saudi" dengan memasuk keuangan, senjata dan pelatihan bagi kelompok takfiri internasional. "..data yang dikumpulkan mengenai asal usul kelompok-kelompok ini dan pembiayaannya, kami sampai pada kesimpulan bahwa Bandar Bin Sultan menjadi dalang dan pemodal utama dari operasi ini, " kata Profesor Binghamton University di New York. Bandar yang pernah menjabat sebagai duta besar Saudi untuk AS dikenal memiliki hubungan dekat dengan mantan Presiden AS George Bush, dan merupakan penganjur invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.
Gelontoran dana besar-besaran pemerintah Arab Saudi terhadap kelompok-kelompok teroris takfiri yang tersebar di berbagai negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara mungkin saja dalam jangka pendek bisa melanjutkan aksi kekerasan dan teroris itu. Tapi dalam jangka panjang kondisi tersebut tidak ada jaminannya akan bertahan lama. Gerakan takfiri yang menyebar ke berbagai negara dunia telah mencapai puncaknya.
Negara-negara Barat dan sekutunya di kawasan menciptakan krisis berdarah di Suriah dan mendukung kelompok-kelompok takfiri demi mencapai berbagai tujuan. Tujuan pertama untuk menggulingkan pemerintahan Suriah dan mengeluarkan negara ini dari front terdepan melawan rezim Zionis Israel. Tujuan kedua memusatkan berbagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan al-Qaeda dan kelompok takfiri lainnya di Suriah dalam satu koordinasi dengan target menggulingkan pemerintahan Assad. Namun alih-alih dua tujuan itu tercapai, kelompok-kelompok teroris takfiri itu saat ini telah menjadi ancaman bagi keamanan dan stabilitas kawasan Timur tengah dan Afrika Utara. Tujuan ketiga adalah menggunakan krisis Suriah sebagai cara untuk mengobarkan friksi mazhab dan persengketaan di tubuh umat Islam sendiri. Tapi secara bertahap konspirasi ini mulai terbongkar.
Secara pemikiran antarkelompok teroris memiliki warna yang sama sebagai gerakan takfiri yang mengafirkan kelompok lain dan hanya mengklaim dirinyalah yang benar, kemudian menggunakan segala cara untuk membungkam pihak lain. Meski demikian, mereka sendiri tidak bersatu dan saling bersengketa hingga terjadi pertumpahan darah. Misalnya, Front al-Nusra yang berafiliasi dengan kelompok teroris al-Qaeda bertempur di Suriah dengan Negara Islam Irak dan Syam (DIIS). Kedua kelompok takfiri ini terlibat baku tembak yang menyebabkan puluhan anggota kubu teroris ini tewas dan sejumlah lainnya luka-luka. DIIS yang mendeklarasi khilafah Islam di Irak dan Suriah mengklaim kedua negara itu sebagai "Emirat Islam" yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Sedangkan Front al-Nushra yang juga mengklaim mendirikan Khilafah di Suriah tidak menerima klaim DIIS. Meskipun mengklaim mengusung simbol Islam, tapi sejatinya kedua kelompok teroris ini sangat jauh dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam sendiri. Berbagai kejahatan yang dilakukan kedua kelompok teroris tersebut bersama faksi takfiri lainnya yang beroperasi di berbagai negara Muslim seperti Suriah menunjukkan bahwa mereka hanya menjadikan Islam sebagai kedok semata.
DIIS baru-baru ini mengeksekusi ratusan anggota kelompok bersenjata rivalnya sesama teroris dari kelompok lain. Alalam (14/1) melaporkan, anasir DIIS mengeksekusi Abu Saad al-Khadrami, bersama lebih dari 100 anggota kelompok Jabhah Islam. Kelompok-kelompok teroris di Suriah khususnya DIIS, Front al-Nusra dan Jabhah Islam, yang mendapat dukungan dari Arab Saudi dan Amerika Serikat terlibat bentrokan berdarah sejak 3 Januari 2014. Bentrokan dan pertempuran antar kelompok teroris itu dipicu oleh perebutan bantuan finansial dan persenjataan dari Barat. Kelompok-kelompok teroris di Suriah saling berusaha menyingkirkan rival mereka agar mendapat bantuan dana dan senjata lebih banyak
DIIS yang kalah secara berturut-turut menghadapi pasukan militer Suriah memusatkan operasinya di provinsi al-Anbar, wilayah barat Irak. Sebagaimana yang mereka lakukan di Suriah, DIIS melancarkan berbagai aksi kekerasan di negeri kisah 1001 malam itu. Tapi aksi kelompok teroris ini menghadapi perlawanan dari pasukan militer dan rakyat Irak. Di sisi lain, sepak terjang kelompok teroris menyibak topeng yang selama ini disembunyikan Arab Saudi sebagai pendukung utamanya. Dengan terbongkarnya tujuan di balik gelombang aksi teror yang dilancarkan kelompok takfiri itu, muncul reaksi bersama dari berbagai kelompok agama dan masyarakat serta pemerintah di Suriah,Irak, Lebanon dan negara Islam lainnya menghadapi gelombang serangan kelompok-kelompok takfiri yang mengancam keamanan dan stabilitas kawasan Timur tengah dan Afrika Utara.
Pada saat yang sama, akhir tahun 2013, Majelis Umum PBB akhirnya mengesahkan resolusi usulan Presiden Iran Hassan Rohani untuk Dunia Menentang Kekerasan dan Ekstremisme (WAVE). Anggota Majelis Umum PBB pada hari Rabu (18/12) dengan suara bulat, menyetujui WAVE, yang menyerukan semua negara di dunia untuk mengecam kekerasan dan ekstremisme. Berdasarkan resolusi itu, PBB akan mendesak semua negara anggota untuk bersatu melawan kekerasan dan ekstremisme dalam berbagai bentuk dan kekerasan sektarian.
Resolusi itu diharapkan akan mendorong para pemimpin dunia untuk membahas penyebab ekstremisme dan diskriminasi serta mengembangkan strategi bersama untuk mengatasinya. Dokumen itu juga akan merekomendasikan promosi keterlibatan masyarakat dalam melawan ekstremisme dan kekerasan, termasuk dengan memperkuat hubungan antara masyarakat dan menekankan kepentingan bersama. Sebelumnya, pada tanggal 24 September, Presiden Iran menyerukan Dunia Menentang Kekerasan dan Ekstremisme dalam pidatonya pada sidang ke-68 Majelis Umum PBB di New York.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa gelombang takfiri dan kekerasan tidak akan bertahan lama, sebab tidak sesuai dengan fitrah manusia yang menghendaki keadilan dan perdamaian. Hidupnya gerakan takfiri hanya bertahan dengan pasokan finansial dan senjata dari sejumlah negara Arab dan Barat. Tanpa gelontoran dukungan tersebut, kelompok takfiri hanya menjadi gerakan lemah yang tidak memiliki akar yang kuat dalam masyarakat.
Sumber: IRIB
0 komentar: