Keberanian Imam Ali bin
Abi Thalib AS. bila diungkapkan adalah ide dan pemikiran sementara pada tataran
praktis adalah iradah dan kehendak. Poros keberanian adalah melindungi hal yang
alami seperti kebenaran dan keimanan akan kebaikan. Semua mengetahui bagaimana
tidak ada seorang pahlawan di zamannya yang mampu menang melawannya di medan
pertempuran.
Keberaniannya menentang maut tidak membuatnya takut menghadapi
siapa saja. Lebih dari itu, pikiran akan mati dalam peperangan tidak pernah
melintas dalam benak Ali bin Abi Thalib sementara ia dalam posisi berduel dalam
medan perang. Ia tidak akan berduel dengan musuh-musuhnya dan mengalahkan
mereka sebelum berdialog dan menasihati serta menuntun mereka kepada kebenaran.
Ali bin Abi Thalib
dengan segenap kekuatannya yang luar biasa tidak pernah melakukan penganiayaan
terhadap musuhnya dalam kondisi bagaimanapun. Para sejarawan sepakat bahwa Ali
bin Abi Thalib tidak pernah memulai dalam berperang hingga musuh telah terlebih
dahulu menyerangnya. Ia senantiasa berusaha sebisa mungkin menyeimbangkan
segala urusannya berbarengan dengan kemarahannya dengan cara damai agar tidak
terjadi pertumpahan darah, tidak terjadi peperangan.
Secara alamiah tidak
melakukan perbuatan melampaui batas merupakan prinsip dan moral Ali bin Abi
Thalib. Ia senantiasa menghubungkan dirinya secara erat dengan fondasi
universal yang diyakininya yang dibangun atas pengenalan akan perjanjian dan
melindungi tanggungan dan berbelas kasih terhadap manusia sekalipun orang lain
mengkhianati perjanjian dan melakukan perbuatan tidak beradab dan tidak ada
rasa perikemanusiaan.
Ali bin Abi Thalib tidak
pernah sedikit pun memenangkan rasa permusuhannya atas kebenaran. Hal itu sudah
pasti akan dilakukan bila tidak ada lagi tuntunan agung dari sifat memenuhi
janji dan kewibawaan serta kedermawanan yang memenuhi jiwanya dalam mengalahkan
rasa takutnya.
Sayangnya, pemilik kasih
sayang ini tidak dilindungi oleh sahabat-sahabat yang betul-betul mencintainya.
Mereka tidak ingin menjadi seperti Ali bin Abi Thalib dan dirinya. Akhirnya Ali
bin Abi Thalib membiarkan mereka dalam kebaikan bumi namun tidak seluruh
makhluk. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Demi Allah! Seandainya aku diberi tujuh
iklim di bumi ini namun aku harus bermaksiat kepada Allah dengan merebut sebutir
gandum murahan dari mulut seekor semut niscaya aku tidak akan mengabulkan itu.
Dunia kalian di sisiku lebih rendah nilainya dari dedaunan yang sedang dikunyah
oleh seekor belalang'.
Ali bin Abi Thalib dalam
hal ini, tidak sekedar berkata dan kemudian melakukannya. Namun, ucapannya
mengalir dari perbuatan yang alami yang dipraktekkan dan dari perasaan yang
dirasakannya. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling mulia di antara
manusia. Ia adalah makhluk Allah yang paling jauh untuk mengganggu makhluk yang
lain. Ia paling dekat dengan manusia untuk membantu mereka agar hati nuraninya
tidak tersiksa. Bukankah seluruh kehidupannya adalah rentetan peperangan yang
berkepanjangan untuk menolong orang-orang yang dizalimi dan lemah? Ia dengan
senang hati akan menolong kaum tanpa permintaan pertolongan dari mereka yang
selalu menjadi alat produksi dari para penguasa yang mewarisi sistem kesukuan.
Apakah pedang tajamnya yang di arahkan ke leher orang-orang Quraisy yang ingin
menguasai kekhalifahan, kepemimpinan, posisi dan pengumpulan harta masih belum
jelas menjelaskan hakikat ini! Bukankah ia meletakkan khilafah dan kehidupan di
atas bumi hanya karena ia enggan berjalan berbarengan dengan pencinta dunia
yang selalu memarginalkan kaum lemah dan papa serta yang dizalimi?
0 komentar: