Saleh bin Fauzan, salah seorang mufti Wahabi
mengatakan bahwa perbuatan sujud di atas tanah apabila dilakukan dengan tujuan
mengharapkan berkah dan kedekatan padanya maka hal tersebut merupakan
kesyirikan yang akbar. Adapun jika perbuatan itu dilakukan dengan tujuan
mendekatkan diri pada Allah swt. sambil meyakini keutamaan tanah tersebut –
seperti tanah suci Masjidil Haram, Masjidin Nabi dan Masjidil Aqsa –maka hal
itu adalah bid’ah… . [1]
Ibnu Fauzan
menjelaskan tabaruk adalah meminta berkah yang berarti kebaikan dan tambahan,
maka sudah barang tentu permintaan harus ditujukan kepada pihak yang memiliki
berkah tersebut dan mampu untuk memberikannya, tiada lain yang demikian adanya
hanyalah Allah swt. yang menurunkan berkah dan menjamin kelestariannya. Oleh
karena itu tabaruk ke tempat suci, peninggalan, bahkan orang hidup atau mati
adalah terlarang, sebab itu perbuatan syirik atau … .[2]
Menurut
Ibnu Atsimain, perbuatan mencari berkah dari kain Ka’bah dan mengusapnya adalah
bid’ah dengan alasan tidak ada hadis dari Rasulullah saw. tentang hal
ini. [3] Dewan
Tetap Mufti-mufti Wahabi menetapkan bahwa perhatian masyarakat terhadap
masjid-masjid yang ada dengan mengusap dinding dan mihrabnya serta berharap
berkah darinya adalah bid’ah dan merupakan satu bentuk kesyirikan serupa dengan
yang dilakukan orang-orang kafir pada zaman Jahiliyah. [4] Fatwa
Bin Baz; meletakkan Qur’an di dalam mobil dengan harapan berkah adalah
perbuatan yang tidak berasal, tidak berdalil, dan tidak disyariatkan. [5]
Hanya saja, ketika ditimbang dan diselidiki lebih serius ternyata ada beberapa hal yang disepelekan dalam fatwa dan pernyataan di atas yaitu:
TABARUK MENURUT PANDANGAN AL-QUR’AN
Al-Qur’an menejelaskan bahwa Allah swt. memberi berkah kepada sebagian
orang, ruang dan waktu, dengan sendirinya maka ayat-ayat yang berhubungan
dengan berkah ini terbagi pada tiga kategori sebagai berikut:
A. Berkah dalam Person
1. Allah swt. berfirman tentang Nabi Nuh as. dan para pengikutnya:
قِيْلَ يَا نُوْحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَ بَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَ عَلَی
اُمَمٍ مِمَّنْ مَعَكَ ﴿ هود: 48 ﴾
Artinya: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat dengan (pertolongan) Kami dan beberapa keberkatan atasmu dan atas umat-umat yang bersamamu.” (QS. Hud: 48).
2. Allah swt. berfirman tentang Nabi Isa as.:
وَ جَعَلَنِيْ مُبَارَكًا اَيْنَ مَا كُنْتُ وَ اَوْصَانِيْ بِالصَّلَاةِ وَ
الزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ﴿ مريم: 31 ﴾
Artinya: “Dan Dia menjadikan aku orang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan aku shalat dan zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam: 31).
3. Allah swt. berfirman tentang Nabi Musa as.:
فَلَمَّا جآءَهَا نُوْدِيَ اَنْ بُوْرِكَ مَنْ فِيْ النَّارِ وَ مَنْ حَولَهَا
﴿ النمل: 8 ﴾
Artinya: “Maka tatkala Musa mendatanginya, dia diseru bahwa telah diberkahi siapa yang di dekat api itu dan siapa yang berada di sekitarnya.” (QS. an-Naml: 8).
4. Allah swt. juga berfirman tentang
Ahlulbait Nabi saw. atau Ahlulbait Ibrahim as.:
رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِ اِنَّهُ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ ﴿ هود: 73 ﴾
Artinya: “Rahmat Allah dan keberkatan-Nya atas kalian hai ahlulbait, sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maya Mulia.” (QS. Hud: 73).
B. Berkah dalam Ruang
1. Allah swt. berfirman tentang Mekkah:
اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَ هُدًی
لِلْعَالَمِيْنَ ﴿ آل عمران: 96 ﴾
Artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula didirikan untuk manusia adalah (Baitullah) yang ada di Mekkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96).
2. Allah swt. berfirman tentang Masjidil Aqsha dan sekitarnya:
سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَی بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
اِلَی الْمَسْجِدِ الْاَقْصَی الَّذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ ﴿ الإسراء: 1 ﴾
Artinya: “Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya.” (QS. al-Isra’: 1).
PANDANGAN FUQAHA AHLI SUNNAH
1. Fatwa Ahmad bin Hanbal: Ibnu Jamaah pengikut mazhab Syafii menceritakan
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dirinya bertanya kepada ayahnya
perihal orang yang mengusap mimbar Rasulullah saw. dan berharap berkah dengan
sentuhan dan ciumannya terhadap mimbar tersebut, dia juga melakukan hal yang
sama terhadap kuburan dengan harapan pahala dari Allah swt., apa hukumnya? Ayahnya
menjawab: tidak apa-apa. [6] Dalam kitab al-Ilal disebutkan kalau orang itu menghendaki kedekatan
diri pada Allah swt. melalui perbuatan-perbuatan tersebut, ketika itu apa
hukumnya? Ahmad bin Hanbal menjawab: tidak apa-apa. [7]
3. Fatwa Ramli Syafii: apabila seseorang mendapatkan
kuburan nabi, wali, atau orang alim dan kemudian dia mengusap atau menciumnya
dengan tujuan mencari berkah, maka ketahuilah perbuatan itu
diperbolehkan. [8]
9. Al-Izami as-Syafii mengomentari perkataan Ibnu
Taimiyah “Barangsiapa yang mengelilingi kuburan orang saleh atau mengusapnya
maka dia telah melakukan salah satu dosa yang paling besar” sebagai berikut:
Ibnu Taimiyah berkata tidak menentu, sesekali dia menyatakan perbuatan itu
sebagai dosa besar, dan di lain kali mengatakannya syirik, dan terkadang pula
menyebutnya salah satu hal yang serupa dengan itu. Sebetulnya para ulama,
peneliti, dan fuqaha sudah sejak lama menyelesaikan pembahasan ini dan
membukukannya beberapa abad yang lalu sebelum orang ini dilahirkan, tapi orang
ini enggan untuk melakukan sesuatu kecuali menentang mereka semua, bahkan
kemungkinan besar dia mengaku adanya ijma’ ulama dalam masalah yang dia
katakan, padahal betapa banyak ijma’ yang sudah terjadi sebelum dia ada dan
menentang perkataannya. Hal ini diketahui dengan baik oleh siapa saja yang
menyelidiki perkataan dia dan perkataan-perkataan ulama sebelumnya atau bahkan
juga ulama setelah dia yang menelusuri pendapat-pendapat ulama dan memiliki
pemahaman yang benar serta budaya kritik yang sehat. Sebagai contoh perbuatan
mengusap kuburan dan mengelilinginya yang sering dilakukan oleh muslimin pada
umumnya, dalam hal ini ulama memiliki tiga pendapat: pembolehan secara mutlak, larangan
secara mutlak tapi hanya sampai batas makruh yang berat dan tidak sampai batas
haram, adapun pendapat yang ketiga adalah harus diperinci antara orang yang
didominasi oleh kerinduan berat terhadap objek yang diziarahi dan tidak, adapun
dalam kondisi pertama maka hilanglah hukum makruh tersebut, sedangkan untuk
orang yang tidak didominasi oleh kerinduan tersebut maka hendaknya dia
tinggalkan perbuatan itu. Kalau Anda perhatikan hal-hal yang digunakan Ibnu
Taimiyah untuk mengkafirkan muslimin … semuanya kembali pada dua premis; premis
mayornya benar yaitu semua ibadah kepada selain Allah swt. adalah syirik …
adapun premis minornya salah yaitu semua panggilan terhadap mayit atau sesuatu
yang gaib, mengelilingi atau mencium kuburan, menyembelih korban atau nazar
untuk penghuni kuburan adalah ibadah kepada selain Allah swt. [9]
11. Syekh Ibrahim al-Bajuri as-Syafii: makruh hukumnya
mencium dan mengusap kuburan kecuali dengan tujuan tabaruk terhadap mereka
(penghuni kuburan), ketika itu maka tidak ada larangan makruh lagi. [10]
12. Syekh Adwi al-Hamzawi al-Maliki mengatakan tidak
diragukan lagi bahwa perbuatan mencium kuburan mulia (Rasulullah saw.) tidak
lain untuk mencari berkah dari beliau, maka jelas perbuatan itu lebih utama
daripada diperbolehkannya mencium kuburan para wali dengan tujuan mencari berkah
(yakni, kalau mencium kuburan walia saja diperbolehkan apalagi mencium kuburan
Rasulullah saw. [11]
sanad:
1. Al-Muntaqo min Fatawa as-Syekh Sholeh bin Fauzan: jilid 2, hal. 86.
2. Al-Bidah: hal. 28-29.3. Majmu’ al-Fatawa li-Ibni Atsimain : no. 366.4. Al-Lajnatu ad-Da’imatu lil-Buhutsi al-Ilmiyati wa al-Ifta’i: 3091.5. Fatawa Islamiyah: jilid 4, hal. 29.6. Wafa’u al-Wafa’: 4/1414.7. Al-Jami’u fi al-Ilali wa Ma’rifati ar-Rijal: 3/32, no. 250.8. Dikisahkan oleh Syibromalisi dari Syekh Abi Dhiya’ (w. 1078) dalam kitab Hasyiyatu al-Mawahibi al-Laduniyah dan Kanzu al-Matholib lil-Hamzawi: 219.9. Furqonu al-Qur’an: 133. Al-Ghodir: 5/154.10. Syarhu al-Fiqhi as-Syafii: 1/276. Al-Ghodir: 5/154.11. Kanzu al-Matholib: 20. Al-Ghodir: 5/154. Masyariqu al-Anwar: 1/140.
0 komentar: