Dalam masalah hadis
al-Ghadir, inilah tingkat yang dicapai oleh para sarjana Barat pemerhati Islam
(Orientalis). Ketika menjelaskan konteks sabda Nabi Saw di Ghadir Khum, L.
Veccia Vaglieri mengikuti penafsiran yang dibuat oleh Ahli Sunnah.
Ia menulis : Dalam masalah ini,
Ibnu Katsir masih menunjukkan dirinya sebagai sejarawan utama: ia menghubungkan
masalah Ghadir Khum dengan episode-episode yang terjadi selama expedisi ke
Yaman yang dikomandani oleh Ali pada 10/631-2 H, dan kembali ke Mekkah tepat
waktu untuk bertemu dengan Nabi Saw selama Hajjatul Wida' (Haji Perpisahan).
Ali sangat ketat dalam membagikan harta rampasan perang dan sikapnya ini
mengundang protes dari beberapa sahabat. Orang-orang meragukan sikap dan
moralitasnya, ia diperingati dengan ketamakan dan dituduh menyalahgunakan
wewenang. Lalu mungkin saja, Muhammad ingin menunjukkan di depan publik
penghormatannya dan kecintaannya kepada Ali. Ibnu Katsir harus sampai kepada
sebuah kesimpulan yang sama, karena ia tidak melupakan untuk menambahkan
perkataan-perkataan Nabi meminta untuk menghentikan cemoohan yang ditujukan
terhadap Ali."
Ketika sebuah kata
memiliki arti yang beragam, sudah merupakan sebuah praktik umum yang berlaku
dalam melihat konteks dari perkataan dan kejadian untuk dapat memahami maksud
dari si pembicara. Ibnu Katsir dan penulis Sunni lainnya telah menghubungkan
peristiwa Ghadir Khum dengan ekspedisi ke Yaman. Namun mengapa beranjak terlalu
jauh untuk sekedar memahami arti kata "mawla", mengapa tidak melihat
secara utuh dan menyeluruh sabda Nabi yang disampaikan di Ghadir Khum
(an-sich)? Tidakkah sebuah praktik yang berlaku secara umum adalah mencermati
teks (matn) dari sabda Nabi tersebut, bukannya melihat sebuah kejadian dari
jauh, melintasi ruang dan waktu?
Ketika kita mencermati konteks langsung dari sabda yang disampaikan oleh Nabi di Ghadir Khum, kita mendapat beberap hal berikut ini :
1. Pertanyaan bahwa Nabi bertanya sebelum menyampaikan deklarasi itu. Beliau bertanya, "Apakah aku lebih memiliki wewenang atas diri kalin melebihi wewenang kalian atas diri kalian sendiri?" Ketika orang-orang menjawab, " Iya, benar," lalu Nabi menyampaikan : "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya." Tentu saja kata "mawla", dalam teks (matn) hadis ini, memiliki makna yang sama dengan kata "awla : lebih memeliki wewenang."
2. Setelah penyampaian sabda ini, Nabi Saw melantunkan doa ini: "Ya Allah. Cintailah orang yang mencintai Ali, dan musuhilah orang yang memusuhinya; tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakan orang yang menghinanya." Doa ini sendiri menunjukkan bahwa Ali, pada hari itu, telah dipercayakan dengan sebuah posisi yang membuat beberapa orang memusuhinya dan ia memerlukan penolong untuk menunaikan tugasnya. Hal ini tidak lain kecuali kedudukan mawla dalam arti penguasa, tuan dan junjungan. Apakah penolong diperlukan untuk mewujudkan sebuah "persahabatan"?
3. Sabda Nabi Saw di Ghadir menegaskan bahwa: "Dapat diduga bahwa aku akan dipanggil menghadap Allah Swt dan aku akan menjawab panggilan itu." Jelas bahwa Nabi Saw menyusun sebuah agenda kepemimpinan bagi umat setelah wafatnya.
4. Para sahabat Nabi memberikan ucapan selamat kepada Ali dengan mengatakan "Amirul Mukminin (Pemimpin Orang Beriman) kepadanya ". Sehingga tidak ada ruang lagi untuk ragu berkenaan dengan arti kata "mawla ".
5. Peristiwa, waktu dan tempat. Bayangkan Nabi menghentikan perjalanannya pada waktu siang hari dan juga meminta sekitar seratus ribu musafir untuk berhenti di bawah terik matahari yang membakar dan di tengah padang sahara, dan mereka diminta untuk duduk di atas padang pasir yang menusuk dengan panasnya, dan membuat mimbar buatan dari pelana-pelana unta, dan kemudian bayangkan beliau menyampaikan khutbah yang panjang dengan sebuah pengumuman bahwa "Barang siapa yang menganggap aku sebagai temannya, maka Ali juga adalah temannya!" Mengapa? Karena beberapa (tidak semua dari seratus ribu orang yang hadir di tempat itu) menaruh benci terhadap cara Ali membagikan harta rampasan di antara para sahabat pada ekspedisi ke Yaman! Tidakkah ini sebuah pemikiran yang konyol?
Jalan lain untuk menemukan makna kata yang digunakan oleh Nabi "mawla" untuk Ali adalah dengan melihat bagaimana orang-orang yang hadir di Ghadir Khum mengerti perkataan ini. Apakah mereka mengartikan kata "mawla" dalam arti "teman " atau dalam arti "tuan atau pemimpin"?
Ketika kita mencermati konteks langsung dari sabda yang disampaikan oleh Nabi di Ghadir Khum, kita mendapat beberap hal berikut ini :
1. Pertanyaan bahwa Nabi bertanya sebelum menyampaikan deklarasi itu. Beliau bertanya, "Apakah aku lebih memiliki wewenang atas diri kalin melebihi wewenang kalian atas diri kalian sendiri?" Ketika orang-orang menjawab, " Iya, benar," lalu Nabi menyampaikan : "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya." Tentu saja kata "mawla", dalam teks (matn) hadis ini, memiliki makna yang sama dengan kata "awla : lebih memeliki wewenang."
2. Setelah penyampaian sabda ini, Nabi Saw melantunkan doa ini: "Ya Allah. Cintailah orang yang mencintai Ali, dan musuhilah orang yang memusuhinya; tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakan orang yang menghinanya." Doa ini sendiri menunjukkan bahwa Ali, pada hari itu, telah dipercayakan dengan sebuah posisi yang membuat beberapa orang memusuhinya dan ia memerlukan penolong untuk menunaikan tugasnya. Hal ini tidak lain kecuali kedudukan mawla dalam arti penguasa, tuan dan junjungan. Apakah penolong diperlukan untuk mewujudkan sebuah "persahabatan"?
3. Sabda Nabi Saw di Ghadir menegaskan bahwa: "Dapat diduga bahwa aku akan dipanggil menghadap Allah Swt dan aku akan menjawab panggilan itu." Jelas bahwa Nabi Saw menyusun sebuah agenda kepemimpinan bagi umat setelah wafatnya.
4. Para sahabat Nabi memberikan ucapan selamat kepada Ali dengan mengatakan "Amirul Mukminin (Pemimpin Orang Beriman) kepadanya ". Sehingga tidak ada ruang lagi untuk ragu berkenaan dengan arti kata "mawla ".
5. Peristiwa, waktu dan tempat. Bayangkan Nabi menghentikan perjalanannya pada waktu siang hari dan juga meminta sekitar seratus ribu musafir untuk berhenti di bawah terik matahari yang membakar dan di tengah padang sahara, dan mereka diminta untuk duduk di atas padang pasir yang menusuk dengan panasnya, dan membuat mimbar buatan dari pelana-pelana unta, dan kemudian bayangkan beliau menyampaikan khutbah yang panjang dengan sebuah pengumuman bahwa "Barang siapa yang menganggap aku sebagai temannya, maka Ali juga adalah temannya!" Mengapa? Karena beberapa (tidak semua dari seratus ribu orang yang hadir di tempat itu) menaruh benci terhadap cara Ali membagikan harta rampasan di antara para sahabat pada ekspedisi ke Yaman! Tidakkah ini sebuah pemikiran yang konyol?
Jalan lain untuk menemukan makna kata yang digunakan oleh Nabi "mawla" untuk Ali adalah dengan melihat bagaimana orang-orang yang hadir di Ghadir Khum mengerti perkataan ini. Apakah mereka mengartikan kata "mawla" dalam arti "teman " atau dalam arti "tuan atau pemimpin"?
Hassan bin Tsabit,
pujangga masyhur Nabi, menggubah sebuah syair berkenaan dengan peristiwa
al-Ghadir pada hari itu. Ia bersenandung: "Lalu ia bersabda kepadanya:
"Berdirilah, Wahai Ali, karena aku rela menjadikanmu sebagai Imam dan
Penunjuk Jalan selepasku."
Dalam bait syairnya ini, Hassan bin Tsabit telah memahami istilah "mawla" sebagai arti dari "Imam dan Penunjuk Jalan" yang secara jelas membuktikan bahwa Nabi Saw berbicara tentang penggantinya, dan ia sama sekali tidak memperkenalkan Ali sebagai "temannya" melainkan sebagai seorang "pemimpin."
Bahkan kata-kata Umar Ibnu al-Khattab lebih menarik. Ia memberi ucapan selamat kepada Imam Ali dengan berkata "Selamat, Wahai putra Abu Talib, pagi ini anda telah menjadi mawla bagi setiap mukminin dan mukminat."
Jika
"mawla" bermakna "teman" lalu mengapa ada ucapan selamat?
Apakah Ali adalah seorang musuh bagi seluruh kaum mukmin dan mukminat sebelum
hari al-Ghadir?
Teks langsung (matan)nya ini membuatnya lebih jelas bahwa Nabi Saw berbicara tentang sebuah wewenang menyeluruh bahwa Ali bagi seluruh kaum muslimin sebanding dengan wewenang Nabi atas mereka. Mereka membuktikan bahwa makna istilah "mawla" dalam hadis al-Ghadir adalah tuan, pelindung, junjungan, atau pemimpin, bukan "teman".
Teks langsung (matan)nya ini membuatnya lebih jelas bahwa Nabi Saw berbicara tentang sebuah wewenang menyeluruh bahwa Ali bagi seluruh kaum muslimin sebanding dengan wewenang Nabi atas mereka. Mereka membuktikan bahwa makna istilah "mawla" dalam hadis al-Ghadir adalah tuan, pelindung, junjungan, atau pemimpin, bukan "teman".
Akhirnya, bahkan jika kita menerima bahwa Nabi bersabda dengan kata: "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya dalam kaitannya dengan peristiwa ekspedisi ke Yaman, bahkan kemudian, "mawla" tetap tidak akan bermakna "teman". Laporan-laporan dari ekspedisi, dalam kitab-kitab Ahli Sunnah, disebutkan bahwa Ali telah mencadangkan dirinya bagian yang terbaik dari harta rampasan yang telah didapatkan di bawah kendali kaum muslimin. Sikapnya ini telah menyebabkan kejengkelan di antara mereka yang berada dibawah perintahnya. Dalam pertemuan dengan Nabi Saw, salah seorang dari mereka mengeluhkan sikap tersebut, karena harta pampasan itu adalah harta kaum muslimin, Ali tidak memiliki hak untuk menyimpan harta tersebut untuk dirinya. Nabi mendengarkan keluhan itu dengan diam; lalu orang kedua datang menghadap beliau dengan keluhan yang sama. Nabi tetap tidak menjawab. Lalu orang ketiga datang kepada beliau juga dengan keluhan yang sama. Adalah ketika Nabi marah dan berkata: "Apa yang kalian inginkan dari Ali? Ia adalah wali setelahku."
Apa yang dapat dibuktikan dari sabda ini? Dikatakan bahwa sebagaimana Nabi - sesuai dengan firman Allah Swt: "Nabi itu (hendaknya) lebih utama dari mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah) dari pada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (Qs. al-Ahzab [33]:6) - adalah awla (lebih berhak) atas kepemilikan harta dan hidup kaum mukminin, sama halnya dengan, Ali sebagai waliy, lebih memiliki hak atas harta dan kehidupan kaum mukminin. Nabi Saw secara terang mendudukkan Ali pada tingkatan wilâyah yang tertinggi setelah diri Nabi sendiri. Atas alasan ini penulis kitab al-Jami'us Shagir berkomentar: "Sesungguhnya perkataan ini adalah pujian tertinggi untuk Ali."
Facebook : GenSyiah
Twitter : GenSyiah
Youtube : GenSyiah
0 komentar: