Setiap orang yang melihat dan mendengar ucapan ini akan muncul dalam dirinya sebuah pertanyaan; apakah setiap pekerjaan yang kita lakukan termasuk mendatangi tempat-tempat tertentu harus didasari oleh perintah Rasul atau Al Quran? Dan jika tidak ada teks yang menyuruh atau memperbolehkan kita melakukan hal itu, pekerjaan tersebut dianggap sebagai perbuatan dosa karena telah menciptakan hal baru di dalam agama, yang kemudian dikenal dengan nama Bid’ah?
Sekelompok kaum muslimin menjawab pertanyaan itu dengan positif, artinya ya benar, semua pekerjaan yang kita lakukan harus memiliki dasar secara spesifik dari Al Quran atau sunnah Nabi dan sunnah sahabat.
Untuk memperkuat jawaban ini mereka menyampaikan beberapa dalil diantaranya sebagai berikut:
1. Salah satu dari konsekuensi dari keaykinan pada tauhid (baca; mengesakan Tuhan) yakni meyakini, bahwa hanya Allah SWT yang memiliki otoritas untuk menciptakan aturan, hukum dan segala upacara ritual keagamaan. Bentuk tauhid semacam ini disebut dengan Tauhid Fit Tasyriy’. Jika kita menciptakan hal itu sendiri maka kita telah masuk dalam tindakan menduakan tuhan dengan diri kita sendiri. Dan perbuatan kita ini tidak lain adalah perbuatan syirik itu sendiri. [1]
2. Beberapa hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan melalui jalur Ahlussunnah atau Syiah, diantaranya;
كل بدعة ضلالة وكل ضلالة سبيلها إلى النار
Setiap bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan akan mengarah ke neraka.[2]
من أتى ذا بدعة فعظمه فإنما يسعى في هدم الاسلام
Siapa yang mendatangi ahli bid’ah kemudian ia mengagungkannya, maka ia telah menghancurkan Islam.[3]
فان أصدق الحديث كتاب الله وان أفضل الهدى هدى محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kitab Allah dan seutama-utama petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad. Sementara seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang dibuat-buat, dan setiap yang bid’ah itu adalah kesesatan. . . [4]
فان خير الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalahpetunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang dibuat-buat, dan setiap yang bid’ah itu adalah kesesatan. . . [5]
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فأمره رد
Siapa yang mengamalkan amalan yang bukan perintah kami, maka amalan tersebut akan tertolak.[6]
Sebuah Kesepakatan
Berdasarkan beberapa dalil di atas semua kaum muslimin dari berbagai madzhab meyakini akan kejelekan bid’ah dan menganggapnya sebagai sebuah kemunkaran, jadi tidak benar bahwa ada madzhab dalam Islam yang menyukai bid’ah sehingga dituduhkan oleh kelompok lain sebagai ahlul bid’ah.
Syiah pun sebagai sebuah madzhab besar dalam Islam tidak menyukai bid’ah dan menganggapnya sebagai sebuah kemunkaran yang tidak boleh terjadi, harus dihindari dan dikikis habis. Sebagai salah satu contoh penegasan dari para ulama mereka dalam hal ini adalah yang ditulis oleh Imam Khomeini ra dalam kitab fatwanya bab Amar Makruf Nahi Munkar,
لو وقعت بدعة في الاسلام وكان سكوت علماء الدين ورؤساء المذهب أعلى الله كلمتهم موجبا لهتك الاسلام وضعف عقائد المسلمين يجب عليهم الانكار بأية وسيلة ممكنة
Jika terjadi sebuah bid’ah dalam Islam dan diamnya para ulama serta tokoh madzhab –semoga Allah meninggikan nama mereka- menyebabkan penodaan terhadap Islam dan lemahnya akidah kaum muslimin, maka wajib bagi mereka untuk melakukan penentangan dengan cara apapun yang bisa mereka lakukan . . .[7]
Yang Diperselisihkan
Masalah yang diperselisihkan dan diperdebatkan adalah dalam hal penentuan mana yang bid’ah dan mana yang merupakan tradisi baik dan dianjurkan (sunnah)? Sebagian dari kaum muslimin dengan berpegang teguh pada teks-teks di atas secara harfiyah, maka banyak sekali amalan kaum muslimin mayoritas yang dianggap sebagai bid’ah dan wajib untuk dihindari, seperti berdzikir dengan bersama-sama, merayakan peringatan maulid atau hari kelahiran Nabi dan orang besar lainnya atau sebaliknya memperingati hari wafat Nabi dan orang besar lainnya yang sering disebut dengan kata ”haul” bahkan membaca doa setelah shalat, berjabat tangan setelah shalat dan mengucapkan shadaqallahul ’adhim setelah membaca Al Quran.[8]
Paa sisi yang lain banyak amalan yang merupakan sebuah kenisyaan untuk dilakukan pada saat ini dan pada zaman dahulu, yakni di zaman Rasulullah hal itu tidak ada karena memang tidak diperlukan dan belum diciptakan, seperti penggunaan alat-alat TV, radio, HP, mobil, pesawat dan sejenisnya.
Sebagian mungkin menjawab, bahwa penggunaan alat-alat tersebut adalah sekedar penggunaan alat-alat yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan ibadah dan ajaran Islam seperti penggunaan pesawat untuk berhaji dan umrah yang tidak ada hubungannya dengan esensi pelaksanaan haji dan umrah itu sendiri. Namun bagaimana jika esensi pelaksanaan ibadah itu sendiri yang bergantung pada penggunaan alat tersebut, seperti nikah via telphon, belajar agama via radio, TV, internet atau membaca doa tertentu dengan dipandu oleh seorang ustadz di layar TV?
Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah
Untuk menyelesaikan problema semacam ini banyak jawaban yang disampaikan oleh para ulama kita, diantaranya adalah dengan melakukan pembagian bid’ah pada dua kategori; baik (hasanah) dan jelek (sayyiah). Yang dimaksudkan dengan baik artinya ia akan memberikan kebaikan dan manfaat kepada yang melakukannya atau kepada kaum muslimin yang lain. Sementara jenis kedua adalah yang memberikan mudharrat, kerugian dan bahaya pada diri atau yang lain. Tentu yang dilarang dalam Islam adalah jenis bid’ah kedua bukan yang pertama.
Jadi walaupun peringatan Maulid, Haul dan dzikir bersama itu tidak memiliki dalil bahwa Nabi pernah melakukannya atau Nabi menyuruhnya, namun karena pada dasarnya adalah sebagai perbuatan baik dan bermanfaat, maka tentu tidak bisa dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang dilarang oleh agama. Maksimalnya kita hanya mengatakan, bahwa ia adalah perbuatan bid’ah namun termasuk dalam kategori pertama, yakni hasanah.
Pembagian ini memiliki latar belakang teologis dan historis, yaitu adanya berbagai kebijakan yang diambil oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan di saat keduanya menambah atau mengurangi beberapa hal dalam agama, namun menganggapnya sebagai sebuah perubahan yang positif, seperti pelaksanaan shalat terawih berjamaah, dibuangnya hayya ’ala khairil ’amal dari adzan, ditambahkannya kata ash shalatu khairum minan nawm pada adzan subuh, diharamkannya nikah mut’ah, ditambahkannya adzan yang kedua dalam shalat Jumat, dan lain-lain.
Kalau kita bersikap kritis, maka tentu kita akan dapai, bahwa pembagian ini tidak memiliki dasar yang kuat, apalagi bila dibenturkan dengan akidah Asy’ariyah yang tidak meyakini adanya baik dan buruk secara rasional, artinya tidak ada amalan yang bisa dinilai baik atau buruk bila tidak penjelasan dari teks agama tentang hal itu. Sebuah amalan akan memiliki sifat baik bila Tuhan sebagai penentu syariat menwajibkan atau menganjurkan kita untuk mengamalkannya dan begitu juga sebaliknya. Lalu bagaimana pekerjaan yang tidak pernah diperintahkan dan tidak pernah ada contoh dari Nabi lalu dianggap baik?
Definisi Bid’ah
Upaya kedua yang dilakukan oleh para ulama untuk menyelesaikan problema di atas adalah dengan memperjelas definisi bid’ah dengan membedakan pula antara pekerjaan ibadah mahdhah dan ghayru mahdhah.
Bid’ah diambil dari arti bahasa seperti yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab dan Al’Ayn memiliki makna sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak ada contohnya sebelumnya.
Di dalam Al Quran disebutkan dalam beberapa ayat, diantaranya sebagai berikut:
a. Surah Al Ahqaf ayat 9
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Katakanlah! Aku bukanlah orang yang pertama dari para Rasul . . .
b. Surah Al Baqarah ayat 117
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَإِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Pencipta pertama (tanpa ada yang mendahului-Nya) yang menciptakan langit dan bumi dan jika Dia menentukan sesuatu maka Dia katakan kepadanya jadilah, maka jadi.
c. Surah Al An’am 101
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُن لَّهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Pencipta pertama (tanpa ada yang mendahului-Nya) yang menciptakan langit dan bumi, bagaimana Dia memiliki anak dan teman padahal Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu
Kalau kita perhatikan yang digunakan di dalam Al Quran adalah sesuai dengan makna aslinya dalam bahasa, karenanya kita perlu melihat makna yang digunakan dalam syariat sehingga dapat menentukan dan mengelompokkan bahwa setiap yang dikategorikan dalam bid’ah berarti sebuah larangan dan dibenci oleh agama.
Bid’ah dalam Prespektif Para Ulama
Coba kita perhatikan definisi para ulama dari Ahlussunah dan syiah tentang bid’ah.
a. Ibnu Rajab Al Hanbali:
البدعة ما أحدث مما لا اصل له فى الشريعة يدل عليه، اما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا ولو كان بدعة لغة
Bid’ah adalah sesuatu yang dibuat dan tidak memiliki dasar di dalam syariat. Adapun yang memiliki dasar, maka tidak dianggap sebagai bid’ah secara syar’iy walaupun secara bahasa disebut dengan bid’ah.[9]
b. Ibnu Hajar Al Asqalani:
البدعة ما أحدث وليس له اصل فى الشرع، وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة
Bid’ah sesuatu yang dibuat dan tidak memiliki dasar di dalam syariat. Adapun yang memiliki dalil syar’iy, maka tidaklah disebut dengan bid’ah.[10]
c. Allamah Sayyid Murtadha:
البدعة زيادة فى الدين أو نقصان منه من إسناد إلى الدين
Bid’ah itu adalah penambahan atau pengurangan dalam agama yang dinisbatkan kepada agama itu sendiri.[11]
d. Allamah Majlisi:
البدعة فى الشرع ما حدث بعد الرسول ولم يرد فيه نص على الخصوص، ولا يكون داخلا فى بعض العمومات
Bid’ah di dalam syariat adalah yang dilakukan pasca zaman Rasulullah saw dan tidak memiliki dalil khusus atas (keabsahan) nya serta tidak masuk ke dalam dalil global (umumaat).[12]
Kriteria Bid’ah
Dari beberapa keterangan di atas yang bisa kita simpulkan adalah, bahwa tidak setiap pekerjaan baru yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Nabi itu secara otomatis dan mutlak disebut dengan bid’ah. Namun ia akan disebut bid’ah di saat memenuhi beberapa kriteria berikut:
1. Tidak ada dalil sama sekali yang menjelaskannya baik secara khusus atau umum. Sebab jika masih ada dalil umum yang bisa kita terapkan amalan tersebut padanya, maka tidak bisa dianggap hal itu sebagai bid’ah. Jadi yang disebutkan oleh para ulama memiliki dasar tidak harus dalil khusus, tapi cukup dalil umum, karena dalil umum itu juga adalah dasar dari syariat.
Imam Ali dalam Nahjul Balaghahnya membagi manusia pada dua golongan; pengikut bid’ah dan pengikut syariat (انما الناس رجلان متبع شرعة ومبتدع بدعة) yang dimaksud dengan pengikut syariat artinya ada dalil syar’iy –walaupun umu- sehingga benar disebut sebagai ajaran agama.[13]
2. Di saat tidak ada dalil sama sekali yang menjelaskan tentang amalan tersebut secara khusus atau umum, namun kita anggap amalan tersebut sebagai amalan islami atau yang diajarkan di dalam Islam. Karena di dalam penisbatan itu ada kebohongan atas nama Allah dan Rasul yang pasti adalah sebuah kemunkaran yang jauh lebih besar dosanya dari pada kebohongan biasa.
3. Amalan yang diada-adakan itu adalah amalan yang masuk dalam kategori ibadah mahdhah bukan yang termasuk pada ibadah ghayru mahdhah.
Ibadah Mahdhah dan Ghayru Mahdhah
Ajaran Islam itu bisa dikelompokkan pada dua kelompok besar; yang pertama adalah ibadah mahdhah, yakni sebuah perintah dari Allah SWT yang jelas dicantumkan dalam Al Quran atau dalam hadis melalui Nabi Muhammad saw dengan sangat terperinci tata cara pelaksanaan, waktu, persyaratan, dan beberapa hal lain yang terkait di dalamnya. Seperti shalat, puasa, Haji dan sejenisnya.
Untuk jenis pertama ini ulama meyakini sebuah kaidah yang mereka sebutkan dalam kitab-kitab mereka, khususnya kitab Ushul Fiqh, bahwa kaidah awalnya segala pekerjaan itu adalah haram hukumnya, kecuali jika ada dalil yang jelas akan memerintahkan untuk melakukannya baik dalam bentuk wajib atau sunnah.
Karena itulah umat syiah meyakini bahwa shalat Terawih dan shalat Dhuha adalah bid’ah, karena mereka tidak menemukan dalil yang menyebutkan tentang hal itu dari Rasulullah saw secara shahih.
Jenis ke dua dari ajaran Islam itu adalah ajaran yang disampaikan dalam Al Quran atau Hadis namun secara global dan tidak disebutkan tentang tata cara untuk melaksanakan perintah tersebut secara khusus. Maka kaidah yang ada pada jenis kedua sebagaimana disebutkan oleh para ulama termasuk di antara nya Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al Halal Wal Haram, bahwa kaidah asal untuk segala perbuatan itu adalah halal kecuali jika terdapat dalil keharaman secara khusus. [14]
Sebagai contoh atas jenis kedua ini coba telaah beberapa hal berikut:
a. Perintah menutup aurat di dalam Al Quran disebutkan secara global artinya tidak disebutkan model dan warna tertentu, karenanya bebas-bebas saja orang laki atau perempuan menggunakan pakaian yang memenuhi syarat dari sisi penutupan aurat selama tidak masuk dalam hal yang dilarang, misalnya orang laki tidak menggunakan baju perempuan dan begitu juga sebaliknya, tidak menggunakan pakaian yang model atau warnanya akan menarik perhatian (sensual) dan beberapa larangan lain.
b. Perintah untuk menunjukkan kebencian dan anti kepada para pelaku keadhaliman dan mereka yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Di zaman kita saat ini terdapat zionisme Israel yang jelas-jelas menjajah rakyat Palestina dan jelas-jelas mereka adalah para pelaku kedzaliman kepada rakyat Palestina baik yang Muslim, Nasrani atau Yahudi. Namun Al Quran tidak menyebutkan bagaimana cara kita mengekspresikan kebencian dan sikap anti kita, karenanya boleh saja kita berinisiatif untuk mencari bentuk dan format tersebut dengan demonstrasi damai misalnya atau seminar, konfrensi dan sejenisnya. Semua itu tidak ada dalil khususnya, namun masuk pada dalil umum dan tidak dalil yang melarang kita untuk demo, seminar, konfrensi dan sejenisnya.
c. Mengingat Allah dengan dzikir lisan dan memanjatkan doa serta munajat kepada Allah adalah bagian yang sangat dianjurkan di dalam Al Quran, bahkan tanpa itu Allah tidak akan memperhatikan itu sebagaimana firman-Nya dalam surah Al Furqan ayat terakhir. Namun di dalam Al Quran Allah SWT dan Rasul saw tidak pernah menyebutkan bahwa cara berdzikir dan berdoa itu harus sendiri-sendiri, karenanya boleh saja dilakukan berjamaah.
Peringatan Asyura
Berkenaan dengan peringatan Asyura, yakni 10 Muharram di hari gugurnya cucu Rasulullah saw di padang Karbala sebagai syahid, banyak faktor yang mendasari keabsahan bahkan keutamaan dan ”anjuran” atas hal itu, di antaranya sebagai berikut:
Adanya banyak teks baik ayat atau hadis tentang keharusan kita mencintai Imam Husain sebagai salah seorang dari pribadi-pribadi keluarga Nabi yang disucikan. Dan salah satu bentuk mengekspresikan kecintaan itu dengan memperingati hari lahir dan wafat beliau.
Adanya contoh dari para Imam suci Ahlulbait as atas hal itu, bahkan diriwayatkan berbagai hadis yang menyebutkan tentang keutamaan memperingati hari Asyura dengan berbagai ritual khusus, seperti membaca doa ziarah Asyura, saling mengucapkan ucapan bela sungkawa sesama mukmin dan bahkan adanya riwayat yang melarang kita untuk melakukan aktivitas ekonomi (mata pencaharian) di hari itu, karena hari itu adalah hari yang tidak akan membawa berkah.
Momentum yang tepat untuk menghidupkan sebuah fakta dalam sejarah yang pernah ditulis dengan tinta merah yang dengan terus memperingatinya, kita akan tetap mengingat dan tidak melupakannya. Selanjutnya akan kita jadikan sebagai sebuah baliho besar di depan mata kepala dan hati kita, agar dapat kita petik berbagai hikmah dan pelajaran yang sangat berguna sebagai bekal kita mengarungi dan menjalani kehidupan keseharian kita.
Kita memiliki tugas untuk melestarikan ajaran agama dan memberikannya sebagai tongkat estafet yang harus tetap dipegang oleh generasi berikutnya. Tanpa peringatan-peringatan seperti itu, maka nama, sejarah dan sepak terjang Imam Husain as akan hilang dan tidak akan dikenal oleh anak dan cucu kita. Coba bayangkan jika maulid Nabi kita Muhammad saw tidak pernah diperingati, maka pasti kita tidak akan tahu kapan Nabi dilahirkan, bagaimana sepak terjang beliau dan apa pesan dan ajaran sucinya. Anak-anak kita tidak akan tahu hal itu, walapun ditulis dalam buku-buku sejarah. Sama halnya dengan hari kelahiran para tokoh dan pahlawan; sebut saja Imam Bonjol, Diponegoro, Pattimura dan lain-lain, walaupun ditulis di dalam buku-buku sejarah dan dipelajari di sekolah-sekolah, namun karena tidak diperingati, maka tidak melekat di pikiran kita kapan beliau-beliau lahir, apalagi ajaran dan pesan-pesan berharganya.
Penutup
Kesimpulan akhir dari semua yang tertulis di atas, bahwa untuk melakukan sebuah pekerjaan yang kita berharap adanya pahala dengan mengamalkan amalan yang didasari niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (qurbah) sehingga tergolong ibadah umum dan ghayru mahdhah, tidak perlu adanya contoh dari Nabi secara khusus ataupun perintah khusus atas hal itu, namun cukup adanya dalil umum dan tidak adanya larangan khusus atas hal itu.
Dengan dalil umum tersebut serta manfaat positif yang dapat diraih darinya, maka kita tidak lagi menganggapnya sebagai bid’ah bahkan bisa kita anggap sebagai sebuah amalan “Sunnah”, Wallahu a’lam.
Referensi:
[1] QS. Al Maidah, ayat 44, 45, dan 47.
[2] Al Kafi, Syaikh Al Kulainiy Juz 1 Hal. 56
[3] Al Kafi, Syaikh Al Kulainiy Juz 1 Hal. 54
[4] Musnad Ahmad bin Hanbal Juz 3 Hal. 310
[5] Shahih Muslim, An Naisaburi Juz 3 Hal. 11
[6] Musnad Ahmad bin Hanbal Juz 6 146
[7] Tahrir Al Wasilah Juz 1 Hal. 473
[8] Syiah Syinasiy, Ali Ashghar Ridhwaniy menukil dari Kumpulan fatwa Ibn Baz, Syaikh Shaleh bin Fauzan dan Ibnu Utsaimiyn
[9] Jamiul Ulum Wal Hikam Hal. 160
[10] Fathul Bariy Juz 17 Hal. 9
[11] Rasail Syarif Murtadha Juz 2 Hal. 264
[12] Biharul Anwar Juz 74 Hal. 202
[13] Nahjul Balaghah, Khotbah 176
[14] Al Halal Wal Haram Hal. 33-35.
0 komentar: