Kamis, 13 November 2014

Jaminan Keselamatan bagi Pengucap Laa Ilaha Illa Allah

Administrator  |  at  Kamis, November 13, 2014  |  ,  |  No comments

Gen Syi'ah - Di bawah ini kami akan menukilkan beberapa hadis yan disahihkan oleh kalangan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah yang menegaskan bahwa barangsiapa meng-ucapkan “La Ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah”, maka terjaminlah keselamatan jiwa, harta, serta kehormatan dirinya (di antara masyarakat Muslim).

Kami hendak menukilkan di sini demi menyadarkan sebagian orang yang lalai dan memberikan pengertian kepada mereka yang tidak mengerti. Juga agar diketahui bahwa keadaan kaum Muslim tidaklah seperti yang diwakili dan digambarkan oleh kaum pendengki dan pendendam yang hendak membangkitkan kembali ‘ashabiyah jahiliyah. Mereka itulah yang telah mencerai-beraikan persatuan dan kesatuan umat dan menyalakan api pertikaian dan fitnah di antara sesama mereka, sehingga mereka terpecah-belah dan bergolong-golongan, saling mengkafirkan dan saling berlepas tangan, tanpa sebab yang masuk akal. Semua itu semata-mata karena bujuk rayu setan, atau embusan tipu daya manusia-manusia iblis yang ternyata lebih jahat dan lebih keji terhadap Islam daripada keturunan si wanita “pemakan hati.”[1] Padahal masa sekarang adalah era ilmu, era keadilan dan kebenaran, era pencerahan yang seharusnya membuat orang meneliti hakikat segala sesuatu dengan pikiran kritis dan terbuka, meninggalkan kepicikan dan kefanatikan buta, lalu kernbali berpegang teguh kepada Kitab Allah yang suci serta Sunnah Nabi-Nya yang mulia.

Nah, di bawah ini, beberapa hadis Nabi saw. yang kami maksud: Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadis dari Ibn Abbas r.a., bahwa Rasulullah saw. pernah berpesan kepada Mu’adz bin Jabal ketika mengutusnya sebagai gubernur ke negeri Yaman:

Engkau akan mendatangi suatu kelompok dari Ahlul-Kitab; maka ajaklah mereka bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Jika mereka bersedia mengikutimu dalam hal itu, beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari semalam. Apabila mereka menerimanya, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka, untuk diberikan kepada kaum fakir-miskin di kaiangan mereka. Jika mereka bersedia mematuhimu, berhati-hatilah, janganlah engkau menyengaja mengambil dari milik mereka yang paling berharga.[2]

Perhatikanlah, betapa Nabi saw. menetapkan keislaman mereka semata-mata dengan kepatuhan mereka kepada Mu’adz (utusan beliau) dalam hal-hal tersebut. Sedemikian sehingga dengan itu terjaminlah keselamatan harta-harta mereka, dan lebih-lebih lagi kehormatan diri serta nyawa mereka, seperti halnya anggota-anggota masyarakat Muslim lainnya.

Dalam Shahih Muslim, juz II, bab “Fadha-il (Keutamaan-keutamaan) Ali a.s.”, juga disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:[3]

Sungguh akan kuberikan panji ini kepada seorang lelaki yang benar-benar mencintai Alllah dan Rasul-Nya (dalam riwayat lain, yang juga tercantum dalam kitab-kitab Shahih, beliau menambahkan: ...dan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya), yang ditangannya Allah akan menurunkan kemenangan bagi kaum Muslim.

Berkata Umar bin Khaththab r.a.: “Aku tidak pernah berambisi untuk memperoleh kepemimpinan kecuali hari itu. Aku pun sungguh-sungguh berupaya agar dipanggil untuk tugas itu!” Kemudian ia berkata: “Lalu Rasulullah saw. memanggil Ali bin Abi Thalib dan menyerahkan panji itu kepadanya seraya berpesan: Berangkatlah, dan jangan menoleh ke belakang!” Kata perawi hadis itu: Maka Ali segera berangkat, tetapi beberapa langkah kemudian, ia berhenti dan – tanpa menoleh ke belakang – ia berteriak: “Ya Rasulullah, atas dasar apa aku harus memerangi mereka?” Jawab Nabi saw.: “Perangilah mereka sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah melakukannya, haramlah bagimu darah mereka.”

Bukhari dan Muslim, dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Usamah bin Zaid, yang berkata: Kami diutus Rasulullah saw. ke suatu tempat bernama Harqah. Kami langsung menyerbu mereka di waktu pagi, dan kami kalahkan mereka. Kemudian aku dan seorang dari kaum Anshar mengejar seorang laki-laki dari mereka. Ketika kami sampai kepadanya, ia berucap: La ilaha illa Allah. Mendengar itu, temanku, si orang Anshar, segera berhenti dan membiarkannya. Tetapi aku langsung menikamnya dengan tombakku sehingga ia mati. Ketika hal ini kemudian diketahui Nabi saw., beliau berkata kepadaku: Hai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan “La ilaha illa Allah?” Jawabku: Ya, karena ia sekadar berlindung saja. (Kata Usamah selanjutnya: Rasulullah saw. tak henti-hentinya mengulangi pertanyaan itu, sehingga aku berharap alangkah baiknya seandainya aku belum menjadi Muslim sebelum peristiwa hari itu).

Tentunya Usamah tidak akan berangan-angan seperti itu, seandainya ia tidak merasa sangat khawatir bahwa semua amalan yang telah dikerjakan sebelum peristiwa ini (baik yang berupa keimanannya, persahabatannya dengan Rasulullah saw., shalatnya, puasanya, zakatnya, hajinya, dan lain-lain) semua itu tidak akan mampu menghapus dosa tindakan kecerobohan ini. Bahkan mungkin saja semua amal salehnya – yang bagaimanapun juga – telah terhapus dan menjadi sia-sia. Jelas bahwa ucapannya itu menunjukkan bahwa ia takut dosanya itu tak terampuni, Karenanya ia berangan-angan seandainya ia baru masuk Islam setelah peristiwa tersebut sehingga dapat tergolong dalam sabda Nabi saw.:

Agama Islam itu menghapus semua dosa yang diperbuat sebelumnya (yakni sebelum memeluk Islam).

Cukuplah bagi Anda hal ini sebagai dalil kuat akan kehormatan kalimat “La ilaha illa Allah” dan para pengikutnya. Jika sedemikian itu keadaan orang yang mengikrarkan syahadat hanya sekadar menghindar dari pembunuhan, maka bagaimanakah pendapat Anda mengenai orang yang bahkan sejak berupa nuthfah telah terikat dengan kalimat itu; kemudian menyusunya bersama air susu ibunya, sehingga tulang belulang dan dagingnya tumbuh menguat dan terbentuk bersama kalimat itu?! Kalbunya penuh dengan cahayanya. Seluruh anggota tubuhnya dipengaruhi oleh kekuatannya.

Karena itu, hendaklah kaum keras kepala berhenti dari perbuatan mengkafirkan sesama Muslim. Hendaknya mereka takut akan kemurkaaan Allah serta kemarahan Nabi mereka (saw.)

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan sanad sampai kepada Miqdan bin ‘Amr, bahwasanya ia pernah bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda seandainya aku berperang dengan orang-orang kafir. Lalu aku berkelahi dengan seorang dari mereka dan ia memukul salah satu tanganku dengan pedang sehingga terputus, kemudian ia menghindar dariku dan berlindung di balik pohon seraya berucap: “Aslamtu lillah.” (Aku Islam kepada Allah). Bolehlah aku membunuhnya setelah ia mengucapkan kalimat itu, ya Rasulullah? Sabda Rasul saw.: Jangan kau bunuh ia. Apabila engkau membunuhnya juga, maka ia berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya (yakni sebagai Muslim) sedangkan engkau berada dalam kedudukannya sebelum ia mengucapkan kalimat itu (yakni sebagai kafir).

Tidak ada susunan perkataan, dalam bahasa Arab atau lainnya, yang lebih jelas dalam menunjukkan penghargaan dan penghormatan Islam terhadap penganut-penganutnya, daripada hadis yang mulia ini. Ucapan yang bagaimanakah yang dapat menandinginya? Ditandaskan di dalamnya bahwa Miqdan, kendati tergolong dalam kelompok orang yang terdahulu memeluk Islam dan amat besar jasa-jasanya, tetapi sekiranya ia membunuh orang tadi, maka kedudukannya akan setara dengan kedudukan orang-orang kafir yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan orang yang terbunuh tersebut, akan memperoleh kedudukan yang sama dengan tokoh-tokoh besar kaum Muslim terdahulu, pahlawan-pahlawan perang Badr dan Uhud. Sungguh inilah puncak penghormatan bagi Ahlut-Tauhid sejauh yang dapat mereka bayangkan. Maka takutlah kepada Allah wahai orang-orang yang keterlaluan dalam ketegaran sikapnya!

Al-Bukhari meriwayatkan dalam bab “Pengutusan Ali dan Khalid bin Walid ke negeri Yaman”. Seorang laki-laki berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, takutlah kepada Allah! (Bertindaklah secara adil!).” Jawab Nabi saw.: “Celakalah engkau, bukankah aku orang yang paling berhak dari penduduk bumi ini untuk takut kepada Allah?!” Mendengar itu Khalid berkata: “Ya Rasulullah, izinkan daku memenggal lehernya?” Jawab Nabi Muhammad saw.: “Tidak, barangkali ia mengerjakan shalat.”[4]

Alangkah kuatnya hadis ini sebagai dalil untuk menghormati ibadah sembahyang dan orang-orang yang menunaikannya. Apabila adanya persangkaan bahwa seseorang mengerjakan shalat sudah cukup untuk melindunginya dari hukuman mati, padahal orang tersebut telah menyanggah dan menuduh Nabi saw. secara terang-terangan, maka bagaimanakah kiranya kedudukan (seorang Muslim) yang senantiasa mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, mengikuti sepenuhnya sabda Rasulullah saw. serta perilaku dan persetujuannya, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mencintai Rasulullah saw. dan keluarganya secara tulus, mengharapkan rahmat Allah melalui syafaatnya, berpedoman pada Kitab Allah dan ‘itrah Rasul-Nya, dan berpegang teguh pada kedua tali itu serta mendukung wali-Nya walaupun seandainya (wali Allah itu) adalah “pembunuh ayahnya” seraya memusuhi musuh-Nya walaupun seandainya musuh Allah itu termasuk kerabatnya sendiri.[5]

Dalam bab “Al-Bai’ah wal-Ittifaq ‘ala Utsman”, Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang panjang. Disebutkan di dalamnya tentang peristiwa terbunuhnya Umar bin Khaththab r.a. Di antaranya, ketika Umar terluka, ia berkata kepada Ibn Abbas: “Selidikilah, siapa orang yang membunuhku?” Setelah pergi sebentar, Ibn Abbas datang kembali dan langsung berkata kepadanya: “Pembunuhmu adalah budak Mughirah.” Umar bertanya: “Apakah dia si tukang pengrajin tangan?” “Ya,” jawabnya, Kemudian Umar r.a. berkata: “Semoga Allah membunuhnya! Sebelum ini aku telah memperlakukannya dengan baik. Puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku melalui tangan orang yang mengaku beragama Islam. Memang, di masa lalu, engkau dan ayahmu pernah menginginkan bertambah banyaknya orang-orang ‘ajam yang kafir itu di kota Madinah.” Kata Ibn Abbas: “Jika Anda ingin, kami akan membunuh mereka semua.” Jawab Umar: “Anda telah berkata bohong! Tak mungkin membunuh mereka setelah ban yak dari mereka berbicara dengan bahasamu (yakni mengucapkan kalimat syahadat), shalat menghadap kiblatmu, dan menunaikan ibadah haji . . .”

Yang mungkin dapat dipahami dari ucapannya “puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku melalui tangan orang yang mengaku beragama Islam” – sesuai dengan riwayat yang akan Anda simak dari Ibn Qutaibah dan Ibn ‘Abdil Bar – ialah bahwa Umar khawatir bahwa pembunuhnya itu seorang Muslim sehingga mungkin memperoleh ampunan dari Allah disebabkan keislamannya. Tetapi, setelah mengetahui bahwa pembunuhnya itu bukan seorang pemeluk Islam, maka kini ia yakin bahwa Allah SWT pasti akan mengambil haknya dari si pembunuh itu (yakni menghukumnya).

Sungguh amat cukup keterangan ini sebagai petunjuk yang pasti tentang baiknya akhir kehidupan kaum Muslim secara keseluruhan.

Kemudian, bila Anda perhatikan bagaimana Umar menyanggah ucapan Ibn Abbas dengan menyebutnya “telah berkata bohong”, padahal semua orang tahu betapa tingginya kedudukan Ibn Abbas, dapatlah Anda menyadari betapa terhormatnya para pengikrar kalimat syahadatain yang mengerjakan shalat dan menunaikan haji, dan mana pun mereka berasal.

Dalam kitab Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Qutaibah[6] (wafat tahun 370 H) menyebutkan bahwa ketika Umar r.a. diberitahu bahwa pembunuhnya adalah sahaya Mughirah bin Syu’bah, secara spontan ia berkata: “Alhamdulillah, yang membunuhku bukanlah seorang yang akan berhujah melawan aku dengan ‘La ilaha illa Allah’ pada Hari Kiamat kelak.”

Dalam bukunya Al-Isti’ab, Al-Hafizh Abu ‘Amr Yusuf bin Abdil-Bar Al-Qurthubi, di bagian “Riwayat Hidup Umar”, meriwayatkan bahwa Umar berkata kepada putranya, Abdullah: “Puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan pembunuhan atas diriku melalui tangan seorang yang akan berhujah melawan aku dengan ‘La ilaha illa Allah’.”

Coba Anda perhatikan, jika seorang yang mengucapkan “La ilaha illa Allah” membunuh Umar bin Khaththab, Khalifah kedua, dapat berhujah melawannya dengan kalimat tersebut, maka jelaslah bahwa perkara orang-orang yang tergolong Ahlut-Tauhid amatlah mudah. Demikianlah, semoga orang-orang tertentu yang kegemarannya menimbulkan perpecahan dan permusuhan di kalangan sesama Muslim, kini bersedia menghentikan kebiasaan jelek itu. Dan semoga tokoh-tokoh yang gandrung kepada persatuan dan perdamaian umat segera meningkatkan upaya-upaya mereka. Tidakkah kita menyadari betapa bangsa-bangsa Barat sedang giat-giatnya memasang perangkap-perangkapnya untuk kita, melemparkan bom-bom mereka ke arah kita, menaungi angkasa kita dengan pesawat-pesawat terbangnya serta memenuhi lautan sekitar kita dengan armada kapal mereka untuk mengepung kita dari segala penjuru?!

Maka apabila umat Islam tidak berpegang teguh pada tali persatuan dan kesatuan dan tidak berlindung diri kepada Allah dari akibat pertikaian ini, pastilah mereka akan menjadi orang-orang hina dina bagaikan budak-budak yang tak berdaya. Di mana saja dijumpai, mereka akan ditangkap dan dibunuh dengan sekeji-kejinya ...

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Aku diperintah agar memerangi manusia sehingga mereka meng- ucapkan “La ilaha illa Allah”. Apabila mereka telah mengucapkannya, menunaikan shalat seperti kita, menghadap arah kiblat. kita, menyembelih dengan cara penyembelihan kita, maka haram bagi kita melanggar darah dan harta mereka.

Sesudah hadis-hadis sahih ini serta nash-nash yang gamblang ini, masih adakah peluang untuk suatu keributan yang dikobarkan oleh para pengacau, atau adakah tempat bergabung bagi para pembenci keluarga Nabi saw.? Tentu tidak, demi Tuhannya Muhammad! Agama Islam tidak bertanggung jawab sedikit pun atas provokasi-provokasi yang disebarluaskan oleh para pembuat fitnah. Perbuatan mereka itu sungguh sangat bertentangan dengan semangat serta ajaran Agama. Padahal Al-Quran menyatakan: Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan sanad sampai Ibn Umar r.a., diriwayatkan: Ketika berada di Mina, Rasulullah saw. bersabda, seraya menunjuk ke arah kota Makkah: “Tahukah kalian, negeri apakah ini?” Jawab mereka: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Maka beliau saw. bersabda: “Sesungguhnya ini adalah negeri yang disucikan. Tahukah kalian hari apakah ini?” Jawab mereka: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Sabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya ini adalah hari yang disucikan. Dan tahukah kalian, bulan apakah ini?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Sabda Nabi saw. lagi: “Bulan yang disucikan.” Dan beliau melanjutkan lagi: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasmu darahmu, harta kekayaanmu dan kehormatanmu, sebagaimana kesucian hari ini, pada bulan ini, di negeri ini.”

Keenam kitab Shahih dan lainnya, penuh dengan hadis-hadis seperti ini yang telah dikenal lebih terang daripada matahari di siang hari. Sungguh aku tidak tahu, atasan apakah yang masih dipegangi oleh mereka yang mengandalkan kitab-kitab Shahih tersebut seraya mencukupkan diri dengan menyimpulkan hukum-hukum agama berdasarkan yang tercantum di dalamnya saja, namun kemudian mereka justru mengingkari hukum-hukumnya dan mencampakkan ajaran-ajarannya.[7]
_______________________________________

1. Wanita yang dimaksud ialah Hindun istri Abu Sufyan, dan ibu Muawiyah yang karena kedengkian dan permusuhannya yang sangat terhadap kaum Muslim, telah berusaha makan hati Hamzah, paman Nabi saw., seusai perang Uhud – penerj.

2. Muslim dalam kitab Shahih-nya telah mencantumkan hadis ini juga dengan sanad yang sama pula.

3.
Juga hadis seperti itu terdapat dalam bab “Ghazwah Khaibar” (Peperangan Khaibar), dalam kitab Shahih Bukhari, juz III, Juga disebutkan dalam bab “Manaqib (Keutamaan. keutamaan) Ali a.s,” dari kitab yang sama, juz II, dengan sedikit perubahan kata-kata.

4.
Ahmad bin Hambal meriwayatkannya juga dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri dalam Musnad-nya, jilid III, hal. 4. Seperti yang dinukilkan pula oleh Al-‘Asqallani dalam kitab Al-Ishabah di bagian biografi Sarhuq si Munafik, yaitu ketika ia dihadapkan untuk dibunuh, Rasulullah saw. bertanya: “Apakah ia mengerjakah shalat?” Jawab mereka: “Hanya bila dilihat orang.” Sabda Rasulullah saw.: “Sungguh aku dilarang membunuh orang yang menegakkan shalat!” Demikian pula yang diriwayatkan oleh Adz.Dzahabi dalam biografi ‘Amir bin Abdullah bin Yasaf dalam kitab Mizan-nya dengan sanad yang dha’if, dari Anas, yang berkata: “Pernah diceritakan kepada Nabi saw. tentang seorang laki-laki yang disebut sebagai ‘Pelindung kaum Munafik’. Ketika laporan-laporan makin banyak tentang orang tersebut, akhirnya Rasulullah saw. mengizinkan mereka untuk membunuhnya. Namun segera Rasulullah saw. bertanya lagi: ‘Apakah ia shalat?’ Mereka menjawab: ‘Ya, tapi shalatnya itu hanya pura.pura saja.’ Tetapi Rasulullah saw. berkata: ‘Sungguh aku telah dilarang membunuh orang yang menegakkan shalat’.”

Nah, jika demikian itu berkenaan dengan orang-orang munafik, yang hanya mengharapkan pujian-pujian (riya’) dari shalatnya, maka bagaimanakah kiranya pendapat Anda tentang orang-orang yang senantiasa menunaikan salat dengan khusyuk serta ikhlas semata-mata karena Allah SWT?!

5. Yang dimaksud dengan “pembunuh ayahnya” ialah ayah si Muslim tersebut di atas yang senantiasa shalat. puasa, dan seterusnya. Penulis buku ini menunjuk kepada sabda Nabi saw. berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib r .a.: Ya Allah, perwalikanlah siapa yang memperwalikannya (yakni Ali) dan musuhilah siapa yang memusuhinya – penerj.

6. Al-Imamah wa As-Siyasah, hal. 26.

7. Salah seorang dari mereka ialah Syaikh Nuh Al-Hanafi yang – kendati adanya hadis- hadis sahih di atas dan yang serupa dengannya – namun ia tetap memfatwakan tentang kafirnya kaum Syi’ah, lalu mewajibkan memerangi mereka, mengharamkan pembunuhan terhadap mereka serta menawan anak-anak dan wanita-wanita mereka untuk dijadikan budak! Fatwanya berlaku baik mereka (kaum Syi’ah) telah bertobat atau belum!
Silakan Anda membaca fatwanya itu dalam buku yang terkenal, berjudul Al-Fatawa Al-Hamidiyah, bab “Hukuman atas Orang Murtad.” Kami akan menukilkan secara lengkap sesuai dengan susunan kalimatnya, di Bab XI dari buku ini. Di sana kami akan menyanggahnya dengan dalil-dalil yang pasti serta bukti-bukti yang terang benderang. Memang, kesepuluh Bab yang sebelumnya, pada hakikatnya merupakan pendahuluan bagi penyanggahan terhadap fatwa yang amat keji itu. Kami justru menyusun buku ini demi tujuan tersebut. Hal ini mengingat bahwa sampai hari ini belum juga ada orang yang telah menunaikan kewajiban tersebut. Segala puji bagi Allah atas taufik dan hidayah-Nya.

Administrator

Seorang Muslim Syiah Imamiyah Itsna 'Asyariyah: Pecinta Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya dan Pecinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ya Aba Abdillah! Hidup Indonesia!

0 komentar:

General

© 2015 Gen Syi'ah. WP Mythemeshop Converted by Bloggertheme9
Blogger Template. Powered by Blogger.