Apa Hukumnya Acara Duka untuk Para Nabi dan Wali Menurut Islam?[1]
Gen Syi'ah - Ada bukti-bukti tekstual nash dan hadis dari Nabi Muhammad saw, sahabat, dan juga tabi’in yang menunjukkan bahwa mereka menangisi orang mati dan para syahid di medan perang, mereka menyediakan forum yang luas untuk penyelenggaraan acara-acara duka dan mendorong yang lain untuk melakukan hal yang sama. Sebagian riwayat juga menceritakan bagaimana Aisyah menampar mukanya saat berduka atas kematian Rasulullah saw. Di samping itu juga telah didirikan berbagai acara duka yang besar atas musibah yang menimpa tokoh-tokoh utama baik dari kalangan ahli hadis maupun yang lain. Berikut ini adalah contoh dari sekian nash, hadis dan riwayat-riwayat tersebut:
Anjuran Nabi saw. untuk Menangis
Hadis yang pertama adalah dari Usamah bin Zaid, dia mengatakan suatu hari putri Nabi saw. mengirimkan seseorang untuk memberitahu beliau kalau putranya telah meninggal dunia maka segeralah datang, maka beliau pun mengirim balik utusan untuk mengucapkan salam seraya bersabda: “Sesungguhnya apa yang diambil dan diberi adalah milik Allah, dan segala sesuatu adalah di sisi-Nya sampai waktu yang ditentukan, maka bersabarlah”. Lalu beliau beranjak untuk mendatanginya, beliau berdiri dan diikuti oleh Sa’ad bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan beberapa orang lagi, beliau mengangkat anak itu dan mulailah terdengar suara bising, lalu air mata mengalir dari kedua mata beliau membuat Sa’ad terkejut dan berkata: Wahai Rasulullah! Apa ini? Beliau menjawab: “Ini adalah kasih sayang yang Allah patrikan dalam hati hamba-hamba-Nya, sesungguhnya Allah merahmati hamba-hambanya yang berbelas kasih”. [2]
Hadis yang kedua disampaikan oleh Ahmad bin Hanbal; ketika Rasulullah saw. berpulang dari Uhud, maka para wanita Anshar tampak menangisi suami-suami mereka yang terbunuh, lalu Rasulullah saw. berkata: “Tapi Hamzah, tidak ada yang menangis untuk dia”. Perawi berkata: Setelah itu beliau tidur, dan ketika terjaga dari tidur beliau menyaksikan mereka menangisi Hamzah, maka beliau berkata: “Hari ini, apabila mereka menangis maka hendaknya mereka menangisi Hamzah”. [3]
Hadis yang berikutnya adalah dari Baladziri, dia riwayatkan bahwa ketika Nabi Muhammad saw. hendak keluar dari rumah Ja’far, setelah turut berduka dengan Asma’ binti Umais, beliau bersabda: “Hendaknya para penangis menangis untuk orang seperti Ja’far”. [4]
Hadis yang keempat dibawakan oleh Hakim Nisyaburi, dia meriwayatkan bahwa suatu saat Nabi Muhammad saw. keluar menuju jenazah seseorang, ketika itu Umar bin Khattab juga bersama beliau, dan ketika terdengar suara wanita-wanita yang sedang menangis maka Umar mencegah mereka, tapi Rasulullah saw. menegur Umar seraya bersabda: “Wahai Umar! Biarkan saja mereka, karena sesungguhnya mata menangis, jiwa berduka dan waktu sudah dekat”. [5]
Dari nash hadis ini bisa dinyatakan bahwa hukum haram menangis bagi mayit adalah sunnahnya Umar bin Khattab dan bukan sunnah Nabi saw., dan sungguh Umar adalah orang yang melarang tangisan bagi mayit padahal sikap Nabi saw. bertentangan dengan apa yang dia lakukan.
Sejarah Praktis Nabi saw.
Sejarah menceritakan kepada kita tentang tangisan Nabi Muhammad saw. terhadap Ibrahim, Abdul Mutthalib, Abu Thalib, Hamzah yang syahid, Fatimah binti As’ad, Aminah binti Wahab ibunda Nabi saw., Usman bin Madz’un, Sa’ad bin Rabi’ dan lain-lain.
1. Tangisan Nabi saw. untuk Ibrahim: “Rasulullah saw. menangisi Ibrahim, lalu seseorang menanyakan alasan perbuatan itu dan beliau menjawab: “—Tabiat— Kedua mata adalah menangis dan hati bersedih, tapi kita tidak mengatakan hal-hal yang mengundang murka Tuhan”. [6]
2. Tangisan Nabi saw. untuk Abdul Mutthalib: “Ummu Ayman berkata aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Rasulullah saw. berjalan di bawah keranda Abdul Mutthalib sambil beliau menangis”. [7]
3. Tangisan Nabi saw. untuk Abu Thalib: “Ali as. meriwayatkan kalau dirinya memberitahu Rasulullah saw. prihal kematian Abu Thalib as., ketika itu maka beliau menangis lalu berkata: “Pergilah kamu dan kemudian mandikan dia, kafani dia, dan kuburkan dia, semoga Allah mengampuni dia dan merahmatinya”. [8]
4. Tangisan Nabi saw. untuk Hamzah bin Abdul Mutthalib: “Ketika Nabi saw. melihat Hamzah terbunuh syahid maka beliau menangis, dan ketika beliau melihat cincangan hati Hamzah maka beliau menjerit”. [9]
5. Tangisan Nabi saw. untuk Fatimah binti As’ad: “Rasulullah saw. shalat untuk Fatimah binti As’ad dan berguling-guling di kuburannya serta menangis”. [10]
6. Tangisan Nabi saw. untuk ibu beliau Aminah: “Nabi saw. menziarahi kuburan ibunya lalu beliau menangis dan membuat orang yang ada di sekitar beliau juga menangis”. [11]
7. Tangisan Nabi saw. untuk Usman bin Madz’un: “Nabi Muhammad saw. mencium Usman bin Madz’un –pada saat dia sudah meninggal— sambil beliau menangis”. [12]
8. Tangisan Nabi saw. untuk Sa’ad bin Rabi’ (Syahid di perang Uhud): “Jabir bin Abdullah meriwayatkan sewaktu Sa’ad bin Rabi’ gugur di perang Uhud Rasulullah saw. pulang ke Madinah lalu beliau melewati Hamra’ul Asad ... dan istri Sa’ad adalah wanita yang teguh; dia membuat makanan ―roti dan daging— lalu mengundang Rasulullah saw., ketika itu dia berada di Aswaf, salah satu tempat di sisi Baqi’. Kami pun pergi bersama Rasulullah saw. dari pagi hari, dan ketika kami duduk di sisi beliau kami mengenang kejadian perang Uhud, begitu pula korban-korban nyawa muslimin yang gugur pada waktu itu, lalu ketika kita menyebut Sa’ad bin Rabi’ sehingga membuat Rasulullah saw. bersabda: “Bangkitlah bersama”, maka kami yang berjumlah dua puluh orang pada waktu itu bangkit bersama beliau dan berjalan sampai ke tempat yang bernama Aswaf, Rasulullah saw. masuk terlebih dahulu lalu kami juga ikut masuk bersama beliau, ... Jabir menegaskan demi Allah di sana tidak ada bantalan dan hamparan. Lalu kami semua duduk dan Rasulullah saw. berbicara tentang Sa’ad bin Rabi’, beliau menyatakan belas kasihnya terhadap Sa’ad dan berkata: “Sungguh aku melihat banyak mata lembing yang menancap tubuh Sa’ad pada waktu itu sehingga dia gugur”. Maka ketika para wanita mendengar cerita Nabi saw. itu mereka langsung menangis tersedu-sedu, air mata Nabi saw. juga mengalir dan beliau tidak melarang mereka untuk itu”. [13]
Sejarah Sahabat dan Tabi’in
1. Tangisan Aisyah: Ubad meriwayatkan dirinya mendengar Aisyah berkata: “Rasulullah saw. meninggal dunia, lalu aku letakkan kepala beliau di atas bantal dan kemudian aku berdiri sambil memukuli dada serta mukaku bersama wanita-wanita yang lain”. [14]
2. Tangisan Ibnu Mas’ud: “Lalu Ibnu Mas’ud berhenti di kuburan Umar sambil menangis dan melepaskan selendangnya”. [15]
3. Tangisan Abdullah bin Rawahah: Ibnu Hisyam mengatakan Abdullah bin Rawahah menangis untuk Hamzah bin Abdul Mutthalib. [16]
4. Tangisan Umar bin Khattab: Usman meriwayatkan dirinya mendatangi Umar bin Khattab dengan membawa berita kematian Nu’man bin Maqran, ketika mendengar berita itu maka Umar meletakkan tangannya di atas kepala dan menangis.
5. Tangisan wanita-wanita Bani Sufyan: Hasan Bashri meriwayatkan bahwa ada enam belas orang dari Ahli Bayt Imam Husein yang terbunuh bersama beliau ... lalu Ahli Syam mengangkut putri-putri Rasulullah saw. sebagai tawanan di atas punggung unta, dan ketika mereka digiring masuk ke persemayaman Yazid maka Fatimah binti Husein berkata: “Wahai Yazid! Apakah putri-putri Rasulullah saw. dijadikan tawanan!!” Yazid menjawab: “Tidak, mereka adalah merdeka dan mulia, masuklah kamu ke tempat putri-putri pamanmu niscaya kamu akan menemukan mereka melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan”. Fatimah berkata: “Lalu aku masuk ke tempat mereka dan aku mendapati di sana tidak ada satu pun wanita sufyani yang tidak memukul dada dan menangis”. [17]
6. Tangisan penduduk Mekkah untuk Rasulullah saw.: Sa’id bin Musayyib meriwayatkan ketika ajal menjemput Nabi saw. maka Mekkah diguncangkan oleh suara yang menggema di mana-mana, hal itu kemudian didengar oleh Abu Quhafah membuat dia bertanya: “Apa ini?” masyarakat pun menjawab: “Ajal telah menjemput Rasulullah saw.”, lalu Abu Qufahaf berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. [18]
7. Tangisan Madinah untuk Husein bin Ali as.: Thabari mengisahkan bahwa ketika Ubaidullah bin Ziyad berhasil membunuh Husein bin Ali dan kepala beliau telah dibawakan untuk dia maka dia memanggil Abdul Malik bin Abi Haris as-Salmi seraya berkata kepadanya: “Pergilah menuju Madinah dan datangilah Amr bin Sa’id, berikan berita gembira terbantainya Husein kepadanya ―ketika itu Amr adalah wali kota Madinah— ... Abdul Malik berkata sewaktu aku masuk kota Madinah ada seorang lelaki dari Quraisy menemuiku dan bertanya: “Ada berita apa?” aku jawab: “Berita itu ada di wali kota”, maka orang quraisy itu berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un! Husein bin Ali terbunuh”.
Aku pun segera menemui Amr bin Sa’id, dia bertanya kepadaku: “Apa yang ada di balikmu”, aku jawab: “Sesuatu yang membuat tuan gembira, Husein bin Ali terbunuh”, maka dia berkata: “Umumkan berita terbantainya Husein”, aku laksanakan perintahnya dan demi Allah aku tidak pernah mendengar jeritan wanita seperti jeritan wanita Bani Hasyim untuk Husein bin Ali saat itu ...”. [19]
Dan ketika berita pembantaian Husein bin Ali as. sampai ke telinga penduduk Madinah maka putri Aqil bin Abi Thalib keluar bersama wanita-wanita yang lain sambil membuka cadar yang menutupi wajahnya seraya berpuisi yang artinya: “Apa yang kalian katakan jika Nabi bertanya kepada kalian apa yang telah kalian lakukan wahai umat yang terakhir terhadap keluargaku setelah aku pergi? Sebagian dari mereka ada yang kalian jadikan tawanan dan sebagian lagi kalian lumuri dengan darah?”.
Ungkapan Duka Melalui Gerak-Jalan dan Penabuhan Genderang
1. Penabuhan genderang di acara duka untuk Abdul Mukmin yang wafat pada tahun 346 hijriah. Nasafi mengatakan: Saya menghadiri jenazah Syekh Abu Ya’la ―yakni Abdul Mukmin bin Khalaf— di musholla, tiba-tiba suara genderang memenuhi suasana seperti suara genderang yang dimainkan oleh pasukan perang, hal itu membuat sekelompok orang menyangka pasukan sedang datang ... dan ketika masyarakat sudah berkumpul mereka melakukan shalat jenazah dan suara genderang itu berhenti seakan sama sekali tidak ada. [20]
Sekilas Biografi Abdul Mukmin
Mereka mengatakan: Dia adalah imam, hafiz, pemimpin, dan lain-lain. Dia tergolong ulama fakih yang meyakini zohir seperti fikih Muhammad bin Dawud di Baghdad, dia membenci ahli qiyas, dia orang yang kaya, pengamat, pesuluk, dan banyak ilmunya. [21]
2. Ratapan umum untuk Juwaini yang wafat pada tahun 478 hijriah. Dzahabi mengatakan: Juwaini meninggal dunia pada tanggal dua puluh lima bulan Rabiul Awal dan dikubur di rumahnya, tapi setelah beberapa tahun kemudian dia dipindahkan ke lokasi pemakaman Husein dan dikubur di samping orang tuanya. Massa memecahkan mimbarnya, menutup pasar, dan melantunkan puisi dan lagu untuknya, dia memiliki sekitar empat ratus murid, mereka pecahkan tinta dan pena mereka, mereka selenggarakan acara peringatan tahunan Juwaini dan meletakkan pelita-pelita di kepala dan mengelilingkannya, tidak ada satu pun orang yang berani menutupi kepalanya. Santri-santri Juwaini itu berkeliling di kota sambil meratapi kematiannya dan menjerit-jerit histeris dengan perasaan sedih yang mendalam ...”. [22]
Saya beri satu catatan di sini bahwa puncak komentar Dzahabi atas upacara duka untuk Juwaini yang mencakup penutupan pasar, lantunan qasidah, peletakan pelita di kepala, gerak jalan kesedihan oleh murid-muridnya sambil meratap dan menjerit adalah: “Ini merupakan tradisi masyarakat awam dan bukan pekerjaan orang-orang yang alim”.
Tapi ketika Dzahabi memasuki pembahasan tentang penyelenggaraan acara-acara duka untuk Husein bin Ali as. pada tahun 352 hijriah di Baghdad dan di saat Muizud Dawlah berkuasa, dia menyebutkan: “Mereka menutup pasar, memasang pedang dan tombak di sana sambil digantungi kain-kain tenunan, lalu mereka keluar ke jalan-jalan sambil memukul-mukul badan dan menunjukkan rasa duka cita atas Husein ..., ―Lalu coba Anda perhatikan apa komentar dia yang tidak senonoh terhadap perbuatan-perbuatan ini— ya Allah! Jagalah akal kami agar tetap ada pada diri kami”. [23]
Itu sikap Dzahabi saat menceritakan acara dan upacara duka untuk Husein bin Ali yang merupakan penghulu pemuda surga, dan ulama Ahli Sunnah juga berdiam saja melihat komentarnya tersebut. Namun, mereka sama sekali tidak berdiam diri ketika melihat sikap Dzahabi terhadap ratapan dan acara duka untuk Juwaini, di sana Dzahabi menuduh murid-murid Juwaini sebagai masyarakat awam dan bukan alim yang tekun belajar.
Melihat sikap Dzahabi itu Subki langsung menunjukkan protesnya seraya berkata: “Orang ini ―maksudnya Dzahabi— pusing dan berputar-putar, ada apa dengan dia sehingga menyakiti imam Juwaini, toh perbuatan ini tidak dilakukan oleh imam Juwaini dan juga tidak dia wasiatkan agar dilakukan sehingga terhitung hal yang meremehkan bagi imam, kenyataan yang sebenarnya adalah semua itu diceritakan untuk mengungkapkan kebesaran imam Juwaini di tengah masyarakat yang hidup sezaman dengan dia, hal itu terjadi pula untuk ahli ilmu yang berjumlah besar, mereka ada sekitar empat ratus murid imam Juwaini, mereka tidak lagi dapat tahan, sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan itu, dan tentunya kalau musibah itu tidak sangat besar bagi mereka niscaya perbuatan-perbuatan yang seperti itu tidak akan mereka lakukan.
Dalam pada ini ada petunjuk yang sangat jelas mengenai taufik Allah swt. yang mencakup orang besar seperti imam Juwaini, menunjukkan bagaimana kedudukan dia di tengah ahli ilmu di masa yang dipenuhi oleh ulama dan orang yang zuhud (hidup sederhana tanpa tergantung kepada dunia). [24]
3. Sebulan berduka untuk Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 hijriah. Dzahabi mengatakan: “Ibnu Jauzi meninggal dunia di malam Jum’at, antara magrib dan isya’, tanggal dua puluh bulan Ramadan tahun 597 hijriah. ... pasar-pasar ditutup, massa berdatangan dan berdesakan ... khalayak melemparkan dirinya ke dalam air ... dan hanya sedikit kafan yang masuk ke liang kubur ... jenazah Ibnu Jauzi dimasukkan ke liang kuburan sementara pengumandang azan menyebut Allah Akbar, khalayak hanyut dalam kesedihan dan mereka bermalam di kuburan itu selama satu bulan penuh Ramadhan sambil berkali-kali menamatkan pengajian al-Qur’an dan menyalakan lilin serta pelita ... mulai hari sabtu kesibukan kita hanyalah berduka dan berbicara tentang Ibnu Jauzi, begitu pula penyelenggaraan acara duka yang dihadiri oleh khalayak umum dalam jumlah yang sangat besar ...”. [25]
Ada baiknya dalam kesempatan ini kita juga mengingat pengakuan mereka (ulama Ahli Sunnah) tentang tangisan langit untuk Ibnu Asakir dan Ibnu Abdul Aziz, Anda bisa saksikan bagaimana mereka saling menukil pengakuan-pengakuan itu tanpa ada sedikit pun komentar miring atau protes, tapi ketika sampai kepada periwayatan hadis-hadis tentang tangisan langit untuk Husein bin Ali penghlu pemuda surga maka mereka merasa enggan untuk melakukannya.
Ibnu Asakir meninggal pada tahun 571 hijriah, putranya mengatakan: “Pada tahun itu hujan seakan terhambat dan tidak mau turun, tapi ketika Ibnu Asakir meninggal dunia maka langit mencurahkan air matanya dan menghujani bagian atas keranda jenazah Ibnu Asakir, seakan-akan langit menangisi kepergiannya dengan linangan air mata yang deras”. [26]
Dinukil juga bahwa langit menangis untuk Umar bin Abdul Aziz, Khalid bin Rabi’i mengatakan: “Adalah tertulis di Taurat bahwa langit dan bumi akan menangis untuk Umar bin Abdul Aziz selama empat puluh kali pagi hari”. [27]
Dalam kisah yang dinukil dan disampaikan oleh Ibnu Katsir, Sibtu Ibnil Jauzi mendirikan acara aduka untuk Husein bin Ali as., di hari Asyura dan di zaman Malik Nasir dia diminta untuk menyebutkan sesuatu tentang pembantaian Husein bin Ali untuk khalayak, maka dia naik ke mimbar dan duduk lama di sana tanpa mengucapkan satu patah kata pun, lalu dia meletakkan pelita di mukanya dan menangis tersedu-sedu, setelah itu dia melantunkan puisi sambil menangis; celakalah orang yang pemberi syafaatnya adalah musuhnya, dan ketika terompet ditiup untuk membangkitkan para makhluk, maka kiamat pun bangkit dan saat itu Fatimah pasti datang, dengan gamis yang berlumuran darah Husein.
Lalu dia turun dari mimbar sambil menangis dan kemudian naik ke Shalihiyah masih dalam keadaan menangis, semoga Allah merahmatinya”. [28]
Kesimpulan yang dimaksud dari pemaparan nash dan bukti-bukti sejarah itu adalah kenyataan bahwa pendirian acara dan upacara duka-cita, pelantunan puisi kematian dan kesedihan, gerak-jalan mengelilingi kota dalam keadaan meratap, menangis, menjerit, memukul muka dan dada serta menabuh genderang, begitu pula dengan menutup pasar dan perbuatan-perbuatan serupa yang mengungkapkan kesedihan adalah hal yang populer di antara umat Islam, dan tidak ada seorang pun yang berani menuduh mereka dengan kehilangan akal, berbuat bid’ah atau melakukan hal yang haram. Tapi kami tidak mengerti kenapa ketika pembahasan itu sampai kepada pendirian acara duka untuk penghulu para syahid yang gugur di Karbala dan dibantai secara zalim oleh orang-orang zindiq dan dungu dari kalangan Bani Umayyah, yaitu penghulu pemuda surga Husein bin Ali, maka kita saksikan pengikut-pengikut Ibnu Taimiyah tidak tahan mendengar acara-acara duka tersebut, mereka tidak dapat menahan diri dan sebaliknya menentang acara-acara seperti itu dengan bahasa yang awam dan kasar, mereka tidak lagi menjaga kata-kata yang yang keluar dari mulut mereka ... seakan-akan mereka sedang membantu orang-orang zalim dari Bani Umayyah ... semoga Allah swt. mengumpulkan mereka bersama ...
Bukti-bukti Kelompok Yang Mengharamkan Tangisan Untuk Orang Mati
Bukti pertama: Hadis-hadis yang menjelaskan bahwa orang yang mati tersiksa oleh tangisan keluarganya untuk dia. Kelompok hadis ini dinukil dari Umar, putranya dan juga yang lain. Isi hadis-hadis itu adalah: orang mati di dalam kuburnya tersiksa oleh tangisan untuk dia, atau orang mati sungguh tersiksa oleh tangisan keluarganya untuk dia, atau orang mati tersiksa oleh sebagian tangisan keluarganya untuk dia. [29]
Dari sebagian versi-versi riwayat ini nampak ada kesalahan dari pihak perawi saat menukilnya atau mungkin dia lupa redaksi hadisnya, terbukti sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah. Ibnu Abbas mengatakan: “Ketika Umar meninggal, aku ingatkan hadis itu kepada Aisyah, maka Aisyah berkata: “Semoga Allah merahmati Umar, demi Allah Rasulullah tidak pernah menyabdakan hadis “Sesungguhnya Allah menyiksa orang mukmin dengan tangisan keluarganya untuk dia” akan tetapi Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah menambah siksa orang kafir dengan tangisan keluarganya”. Aisyah melanjutkan: “Cukup kiranya bagi kalian al-Qur’an yang mengatakan wala taziru wazirotun wizro ukhro (Dan seseorang tidak menanggung beban dosa orang lain). Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh putra Umar bukanlah hal yang berarti” [30].
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika seorang berkata kepada Aisyah: “Sesungguhnya Ibnu Umar mengatakan: “Orang mati tersiksa oleh tangisan orang yang hidup”, maka Aisyah berkata: “Semoga Allah mengampuni Abu Abdir Rahman, ketahuilah dia tidak berbohong akan tetapi dia lupa atau salah, kejadian yang sesungguhnya adalah suatu saat Rasulullah saw. melewati wanita yahudi yang mati dan ditangisi, maka beliau bersabda: “Mereka sedang menangisinya padahal sungguh dia disiksa di dalam kuburannya”.
Usaha-usaha Pembenaran Untuk Hadis-hadis di Atas:
1. Maksud dari hadis-hadis tersebut adalah mereka menangisi orang mati dengan membawakan nyanyian sedih kematian yang menurut mereka kandungannya adalah sifat-sifat baik orang mati yang mereka tangisi, padahal menurut syariat itu adalah sifat-sifat yang buruk, itulah sebabnya orang mati tersebut tersiksa dengan nyanyian mereka. Mereka memanggilnya dengan sebutan wahai yang membuat para wanita menjadi janda, wahai yang membuat anak-anak menjadi berduka, wahai yang merusak kemakmuran, wahai yang membuat pipi menjadi merah, dan lain-lain, mereka anggap itu adalah keberanian dan kebanggaan padahal itu adalah haram menurut syariat Islam.
2. Ada kelompok lain mengartikan hadis-hadis itu sebagai berikut: Orang yang mati akan tersiksa karena dia mendengar tangisan keluarganya, mereka menjadi sedih karena tangisan itu. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Jarir dan juga yang lain. Qadhi mengatakan ini adalah pendapat yang paling bagus dalam hal ini.
3. Menurut Aisyah maksud hadis ini adalah orang kafir yang mati atau pun orang-orang berdosa yang mati akan disiksa pada saat keluarganya menangisi mereka, tapi disiksa karena dosa mereka dan bukan karena tangisan keluarga mereka. [31]
4. Menurut apa yang tercantum di dalam kitab Biharul Anwar, huruf “Ba’” yang ada di dalam hadis itu berarti “ma’a” (bersama), dengan demikian maka maksudnya adalah orang mati itu akan disiksa karena perbuatannya bersamaan dengan tangisan keluarganya untuk dia”. [32]
Bukti yang kedua: Hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh al-Hindi; Aisyah menceritakan ketika berita kematian Ja’far bin Abi Thalib dan Zaid bin Harisah serta Abdullah bin Rawahah sampai kepada Rasulullah saw. maka beliau duduk dan di wajah beliau nampak sekali kesedihan, saat itu aku mengintip beliau dari sela-sela pintu, lalu datang seorang dan melapor kepada beliau: “Wahai Rasulullah! Wanita-wanita keluarga Ja’far sedang menangis karena kepergiannya”, maka beliau bersabda kepadanya: “Kembalilah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk diam, dan jika mereka enggan untuk diam maka taburkan saja debu di muka mereka (atau baca: buat mereka malu karena perbuatan itu). [33]
Ada beberapa catatan penting untuk bukti yang mereka ajukan ini:
1. Hadis ini bertentangan dengan hadis tentang Nabi saw. yang menangis untuk orang mati dan bahkan hadis yang memuat dorongan beliau kepada masyarakat untuk menangisi Hamzah, Ja’far dan lain-lain, begitu pula hadis yang memuat sabda beliau kepada Umar di saat dia melarang para wanita menangisi orang mati, beliau bersabda: “Biarkan saja mereka, karena sesungguhnya ―tabiat— mata adalah mencucurkan air mata dan jiwa berduka serta waktu yang dijanjikan sudah dekat”. [34]
2. Di dalam silsilah perawi hadis ini terdapat nama Muhammad bin Ishaq bin Yasar bin Khiyar, sementara dia adalah orang yang diperselisihkan; Ibnu Namir mengatakan: “Dia menukil hadis-hadis batil dari orang-orang yang tidak diketahui”, Ahmad mengatakan: “Dia serakah hadis, maka dari itu dia mengambil buku orang-orang lain dan meletakkannya di buku dia sendiri”, Ahmad juga mengatakan: “Dia suka memalsukan hadis”, Abu Abdillah mengatakan: “Dia tidak peduli dari siapa dia meriwayatkan”, Abu Abdillah juga mengatakan: “Dia tidak bisa dijadikan sandaran”, Ahmad mengatakan: “Dia tidak bisa dijadikan bukti dan sandaran di dalam sunan”, Yahya bin Mu’in mengatakan: “Dia (baca: hadisnya) tidak berarti, dan lemah”, Yahya juga mengatakan: “Dia (baca: hadisnya) cacat dan tidak kuat”, Nasa’i mengatakan: “Dia tidak kuat”. [35]
Bukti yang ketiga: Perbuatan Umar yang sampai memukul wanita-wanita yang menangis untuk orang mati. Nadhr bin Abu Asim meriwayatkan bahwa di suatu malam Umar bin Khattab mendengar suara tangisan wanita di Madinah, maka dia mendatanginya, dia masuk dan memecah kerumunan wanita lalu menemui wanita yang menangis tersebut, dia mulai memukulinya sehingga cadarnya terbuka, mereka yang hadir di sana mengingatkan Umar akan rambut wanita itu yang terbuka karena perbuatannya: “wahai Amirul Mukminin! Rambut wanita itu tersingkap”, maka Umar menjawab: “Memang, tapi sungguh wanita ini tidak punya kehormatan lagi ...”. [36]
Bukti tertolak karena beberapa alasan; pertama karena silsilah perawinya yang lemah, di sana terdapat orang yang bernama Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya, menurut pernyataan Yahya bin Sa’id al-Qatthan dirinya pernah bertanya kepada Malik apakah Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya adalah orang yang terpercaya? Malik menjawab: “Tidak, mengenai agama dia sama sekali tidak bisa dipercaya”, Ahmad juga mengatakan: “Segala bentuk petaka muncul darinya”.
Dia juga berkata: “Hadis yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya tidak layak ditulis, orang-orang meninggalkan hadis yang dia riwayatkan, dia adalah orang sering kali meriwayatkan hadis-hadis yang mungkar dan yang sama sekali tidak ada dasarnya, dia juga orang yang sering mengambil hadis-hadis orang lain lalu meletakkan hadis-hadis itu di dalam kitabnya”.
Basyar bin Mufadhal mengatakan: “Aku menanyakan perihal Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya kepada para faqih di Madinah, dan mereka semua memberikan jawaban ‘dia adalah pembohong’ atau hal yang serupa dengan jawaban tersebut”.
Yahya bin Sa’id mengatakan: “Dia adalah pembohong”, dan Ibnu Mu’in berkata: “Dia tidak terpercaya”, dan Nasa’i mengatakan: “Dia bukan orang yang dipercaya dan hadisnya tidak tidak ditulis oleh orang lain ...”. [37]
Alasan kedua penolakan atas bukti yang ketiga adalah hal yang naif dan mengherankan sekali jika Umar bin Khattab menyerang dan menyeruak ke dalam rumah yang saat itu dipenuhi oleh para wanita [38] ―non muhrim— lalu dia menyingkap jilbab seorang wanita di antara mereka sehingga rambutnya terlihat oleh orang lain dan kemudian berkata: “Wanita ini tidak lagi mempunyai kehormatan” dengan kata lain “Wanita ini bukan lagi wanita yang muslimah dan sudah keluar dari agama Islam”!!!
Alasan ketiga yang menolak bukti di atas adalah anggap saja perbuatan itu pada kenyataannya memang dilakukan oleh Umar bin Khattab, tapi apakah perbuatan dia adalah bukti pembenaran bagi orang lain?? Padahal dia sendiri tidak pernah mengaku dirinya suci atau terlepas dari dosa dan kesalahan, bahkan tidak ada juga seorang pun yang mengklaim kesucian Umar bin Khattab.
Dalam hal ini, Ghazali mengategorikan kepercayaan bahwa perkataan Umar bin Khattab dan Abu Bakar adalah bukti kebenaran bagi orang lain dalam prasangka dan khayalan. Dia mengatakan: “Pokok kedua yang masuk kategori prasangka dan khayalan adalah perkataan sahabat, sebagian orang berpendapat bahwa perilaku sahabat adalah bukti kebenaran secara mutlak, sebagian lagi berpendapat serupa dengan catatan selama tidak bertentangan dengan qiyas, sebagian lagi berpendapat hanya perkataan Abu Bakar dan Umar saja yang merupakan bukti kebenaran karena Rasulullah saw. bersabda “Contohlah dua orang setelahku” [39], dan sebagian yang lain berpendapat bahwa bukti kebenaran terletak hal-hal yang disepakati oleh Khulafa Rasyidin. Menurut kami, semua pendapat itu tidak benar, sebab orang yang masih mungkin berbuat kesalahan dan lupa serta tidak terbukti kesuciannya dari dosa maka perkataannya tidak bisa dinyatakan sebagai bukti kebenaran, bagaimana mungkin perkataan mereka menjadi bukti kebenaran selama masih ada kemungkinan salah di dalamnya?! [40]
Alasan yang keempat yang menolak bukti di atas adalah kenyataan yang menegaskan bahwa sikap khalifah Umar ini sama sekali tidak mencerminkan sunnah Rasulullah saw. dan perbuatan beliau. Di dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. menegur Umar bin Khattab seraya bersabda: “Hai Umar! Biarkan saja mereka” [41], begitu pula pernyataan Aisyah: “Semoga Allah memberi rahmat kepada Umar, sesungguhnya dia lupa dan bersalah”. [42]
Kami cukupkan kritik dan bantahan-bantahan ini sampai di sini saja, karena sungguh itu cukup bagi orang yang betul-betul memiliki telinga yang mendengar. Adapun perinciannya yang lebih panjang dan lebar maka kami tinggalkan untuk kesempatan yang lain insyaAllah.
Referensi: Rowafid al-Iman ila Aqoid al-Islam; Najmudin Tabasi.
_________________________________
1. Diterjemahkan dari kitab Rowafidu al-Iman fi Aqo’idi al-Islam, karya Najmuddin Thabasi, dari halaman 217 sampai 230.
2. Sunan an-Nasa’i: 4/22.
3. Al-Isti’ab: 1/275.
4. Ansabul Asyrof: 42.
5. Al-Mustadroku ‘alas Shohihayn: 1/381; Sunanun Nasa’i: 4/19; Musnad Ahmad: 3/323.
6. Al-Aqdul Farid: 3/19.
7. Tadzkirotul Khowash: 7.
8. At-Thobaqotul Kubro: 1/105.
9. As-Siroh al-Halabiyah: 3/247.
10. Dzakho’irul Uqba: 56.
11. Al-Mustadroku ‘alas Shohihayn: 1/357; Tarikhul Madinah: 1/118.
12. Al-Mustadroku ‘alas Shohihayn: 1/361; as-Sunanul Kubro: 3/407.- Robi’ul Abror: 4/187.
13. Al-Mustadroku ‘alas Shohihayn: 1/261; as-Sunanul Kubro: 3/407.
14. As-Sirotun Nabawiyah: 4/305. Lihatlah Wafayatul A’yan: 3/16 tentang tangisan Ibnu Umar untuk Aisyah.
15. Al-Aqdul Farid: 3/195.
16. As-Sirotun Nabawiyah: 3/171.
17. Al-Aqdul Farid: 4/383.
18. Akhbaru Makkah, karya Fakihi: 3/80.
19. Tarikhut Thobari: 3/342. Lihatlah al-Aghoni: 24/163, tentang tangisan Muawiyah dan muslimin untuk para korban nyawa yang gugur di Rum.
20. Siyaru A’lamin Nubala’: 15/480; Ibnu Asakir: 10/272; Tadzkirotul Huffadz: 3/866; al-Ibar: 2/272; Mir’atul Jinan: 2/340; Thobaqotul Huffadz: 354; Syadzarotudz Dzahab: 373.
21. Ibid.
22. Siyaru A’lamin Nubala’: 18/468; al-Muntadzom: 9/20; catatan bawah Tarikhu Baghdad; Thobaqotul Asnawi: 1/411; Tabyinu Kidzbil Muftari: 248; Wafayatul A’yan: 3/149.
23. Al-‘Ibar: 3/89; Tarikhul Islam, kejadian-kejadian tahun 351, halaman 11.
24. Thobaqotus Syafi’iyah: 5/184.
25. Siyaru A’lamin Nubala’: 18/379.
26. Mukjamul Udaba’: 13/75; Tarikhul Islam, tahun 246, halaman 17.
27. Ar-Rowdhul Fa’iq: 255; al-Ghodir: 11/120.
28. Al-Bidayatu wan Nihayah: 13/207.
29. Sohihul Bukhori, kitabul jana’iz; Sohihu Musim, al-jana’iz; Jami’ul Ushul: 11/99, noor 857; as-Sirotul Halabiyah: 3/310; Sunanu Ibni Majjah: 1/506, nomor 1589.
30. Al-Majmu’: 5/308.
31. Al-Majmu’, Nawawi: 5/308.
32. Biharul Anwar: 79/109.
33. Kanzul Ummal: 15/732; al-Mushonnaf, Ibnu Abi Syaibah: 3/265.
34. Sunanun Nasa’i: 4/19; Musnad Ahmad: 3/333; al-Mustadroku ‘alas Shohihayn: 1/381.
35. Tahdzibul Kamal: 16/70-80.
36. Kanzul Ummal: 15/731, al-Mushonnaf, Abdur Rozzaq: 3/557, nomor 6682. Dan di dalam silsilah perawi hadis ini terdapat nama Nashr bin Asim.
37. Tahdzibul Kamal: 1/420.
38. Kejadian yang serupa juga dilakukan oleh Umar ketika dia menyeruak masuk ke dalam rumah wahyu dan menyerang rumah kediaman Siti Fatimah Zahra putri Nabi saw..
39. Hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw. ini telah kami tolak dengan berbagai alasan dan kami muat dalam kitab kami yang berjudul “Dirosatun Fiqhiyyah fi Masa’ila Khilafiyyah”, halaman 130.
40. Al-Mustashfa: 1/260 – lihatlah kitab Dirosatun Fiqhiyyah fi Masa’ila Khilafiyyah”, halaman 138.
41. Musnad Ahmad: 3/323.
42. Al-Majmu’, Nawawi: 5: 308
Facebook :
GenSyiah
Twitter :
GenSyiah
Youtube :
GenSyiah
0 komentar: