Sekjen Hizbullah, Sayyid Hassan Nasrallah dalam wawancara dengan TV al-Manar, Jumat malam waktu setempat (25/09/15), menjelaskan perubahan situasi terkini di Suriah yang menurutnya perubahan jelas atas sikap beberapa kekuatan dunia dalam mendukung presiden sah, Bashar Assad.
"Tujuan dari 5 tahun perang global Suriah adalah untuk menggulingkan rezim dan menguasai negara (Suriah), tetapi keuletan Suriah dan sekutunya merupakan faktor utama di balik apa yang kita saksikan hari ini," kata Nasrallah.
"Hari ini kita menyaksikan kegagalan strategi AS dan koalisi internasional anti Negara Islam (IS). Eropa kini menghadapi tantangan baru, tantangan para pengungsi, dan mereka menghadapi dua pilihan,- mengakhiri perang di Suriah atau mengambil para pengungsi", jelasnya.
Pemimpin Hizbullah juga mencatat kesepakatan nuklir terakhir antara Iran dan kekuatan dunia merupakan faktor utama yang menyebabkan perkembangan saat ini terkait krisis Suriah.
"Amerika mengira mereka bisa meyakinkan Iran melalui perundingan untuk tawar-menawar atas Aram (Suriah), tetapi hal ini juga telah berakhir," tandasnya.
Nasrallah menjelaskan beberapa laporan mengenai Rusia yang menyerukan koalisi internasional anti IS (ISIS) yang terdiri dari Iran, Irak, Turki dan aliansi saat ini yang "menghadapi" ISIS.
"Beberapa kali terjadi pertemuan antara pejabat senior negara-negara ini, dan mereka terlibat dalam diskusi serius tentang pembentukan kekuatan anti-teror yang nyata," kata Nasrallah.
Menurutnya, sikap Rusia terhadap Presiden Suriah Bashar Assad dalam transisi politik di negara itu tidak ambigu lagi dan sangat jelas.
"Rusia dan Iran sangat menentukan dalam dukungan mereka terhadap Presiden Bashar Assad," tegas Nasrallah.
Ketika ditanya tentang bala bantuan Rusia yang sedang dikirim ke Suriah, Nasrallah mengatakan Hizbullah menyambut baik setiap upaya kekuatan yang memasuki Suriah untuk mendukung perlawanan, karena itu akan memberikan kontribusi untuk menangkis ancaman utama yang dihadapi Suriah dan wilayah."
"Rusia bergerak dengan koordinasi empat negara yang saya sebutkan," katanya.
Ditanya mengapa Hizbullah dan tentara Suriah tidak mampu menyelesaikan pertempuran yang dimulai pada bulan Juli di kota Zabadani dekat perbatasan Libanon, Nasrallah mengatakan, "Kami mulai pertempuran di Zabadani pada 1 Juli dan menguasai semua perbukitan di sekitar kota dan sebagian besar wilayah kota. Para militan (ISIS) mulai mengeluarkan panggilan marabahaya dalam waktu kurang dari dua minggu ... Mereka kemudian hilang bersamaan dengan Fuaa-Kafraya-Zabadani setelah para pemimpin mereka berpikir bahwa tekanan terhadap Fuaa dan Kafraya akan memperbaiki situasi mereka di Zabadani," jelas Nasrallah.
"Ketika terkait masalah Zabadani, kami melihat kesempatan, dan kami dilindungi Fuaa dan Kafraya dengan menahan diri untuk merebut kendali penuh kota (Zabadani) sebelum mencapai solusi baik bagi dua kota," katanya.
Nasrallah menjelaskan beberapa laporan media tentang korban dipihak Hizbullah di Zabadani yang menurutnya berlebihan.
Terkait gencatan senjata enam bulan setelah meraih tiga kota itu, Nasrallah mengatakan kesepakatan itu dicapai di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan perantara sekutu utama Damaskus, yakni Iran.
Kesempatan ini akan digunakan untuk mengevakuasi orang-orang bersenjata dan yang terluka dari Zabadani ke provinsi Idlib untuk pertukaran evakuasi 10.000 warga sipil dari desa Fuaa dan Kafraya ke zona yang dikendalikan oleh pemerintah," katanya.
Pada Kamis, 24/09/15, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia mengatakan kesepakatan gencatan senjata itu dicapai di bawah sponsor Turki dan Iran dan dengan jaminan dari PBB.
0 komentar: