Arsip foto“‘Mohammed and Sameer of Syria”pada tahun 1889 di kota Damaskus, Suriah. (ARSIP)
Berselancar di media sosial itu sungguh mengasyikkan. Ia seperti samudera hikmah, walau bukan samudera kebenaran. Dalam arti, tak semua yang ada di media sosial itu benar. Bahkan, dalam kondisi masyarakat yang kian sengit akan sentimen, bisa jadi akan lebih banyak kesalahan ketimbang kebenaran di media sosial.
Hoax bertebaran di sana, ujaran kebencian berseliweran, vonis dan tuduhan begitu mudah dicuitkan, dan seterusnya. Namun, hikmah punya dimensi yang unik, yang membuat segala sesuatu, bahkan kesalahan, bisa dipetik sisi benarnya.
Pertama, kita bisa mengambil hikmah berupa kebenaran begitu saja. Ia memang objek yang benar. Kita tinggal mengambilnya saja.
Kedua, kita bisa mengambil sebagian kebenaran. Misal, bisa jadi teksnya benar, konteksnya salah. Premisnya benar, kesimpulannya salah.
Ketiga, kita bisa mengambil kebenaran dari suatu kesalahah. Inilah mungkin yang dimaksud Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Ambillah hikmah walau dari mulut seorang munafik.” Dalam arti, bisa jadi penuturnya munafik, latar belakangnya munafik, atau tujuannya munafik, tapi yang dituturkannya benar. Atau, tuturannya pun munafik-salah, tapi kita ambil hikmah dengan membalikkannya: sisi sebaliknya.
Salah satu hikmah yang baru-baru ini saya dapatkan dari media sosial, tepatnya Facebook, adalah foto seorang lelaki jangkung buta bernama Muhammad yang menggendong seorang lelaki kecil yang lumpuh kakinya bernama Samir. Dan, ternyata, keduanya saling berbagi:
Muhammad berbagi kakinya dengan Samir, dan Samir berbagi penglihatannya dengan Muhammad.
Tak berhenti sampai di sana kesyahduan: Muhammad adalah seorang Muslim dan Samir adalah seorang Nasrani.
Keduanya seorang yatim-piatu yang telah bersama dan berbagi hampir seumur hidupnya. Bekerja bersama di sebuah warung kopi. Dan wafat dalam waktu yang hampir bersamaan: Samir wafat lebih dulu dan disusul sepekan kemudian oleh Muhammad yang tak kuat menahan kesedihan akan wafatnya sahabat berbaginya itu.
Ada sebuah ikatan yang begitu kuat antar keduanya di tengah sesuatu yang kini dianggap jurang besar dan mustahil bersatu: Islam-Nasrani.
Apa hikmah yang bisa kita ambil dari foto dan realitas yang terpotret itu? Tentu, ia samudera hikmah. Saya pun malu untuk“lancang”memotret hikmah dari keduanya.
Namun, dengan kerendahan hati, saya memberanikan diri untuk itu, sembari mau menegaskan bahwa yang akan saya paparkan hanya secercah hikmah yang bisa saya petik dari keduanya, sesuai konteks yang menurut saya dibutuhkan dalam kondisi keberagamaan kita saat ini. Artinya, selebihnya silakan Anda petik sendiri sesuai penglihatan dan konteks yang mengitari Anda.
Pertama, ada nilai universal yang letaknya bahkan melampaui agama, yakni “kemanusiaan”. Sebab, bahkan agama sebenarnya diturunkan sebagai perangkat untuk membuat manusia menjadi pro-kemanusiaan.
Nilai itu melintasi sekat-sekat apa pun, termasuk agama atau bahkan ketuhanan sekalipun. “Rahman”-Nya itu diberikan pada seluruh ciptaan-Nya, tanpa memandang sekat agama ataupun tanpa peduli walau ia tak beriman pada-Nya.
Sampai di sini, ada sebuah kisah menarik dan relevan yang dibawakan Eric Winkel (pakar Ibn ‘Arabi) dalam satu sesi diskusi tentang pemikiran Ibn ‘Arabi di Jakarta pada akhir 2015 lalu.
Alkisah, Nabi Ibrahim pernah kedatangan tamu tak dikenal ke rumahnya. Dia seorang kakek tua berumur 70-an tahun. Dia kelaparan dan minta makan pada Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim bertanya tentang kepercayaannya pada Tuhan, dan ia pun menjawab bahwa ia ateis. Lalu, Nabi Ibrahim menawarkan padanya untuk bersaksi akan Tuhan, lalu akan memberinya makan.
Namun, kakek itu enggan menukar sepiring nasi dengan apa yang diyakininya, lalu ia pergi.
Lantas, Allah pun menegur Nabi Ibrahim dengan mengatakan bahwa kakek itu telah 70-an tahun tak percaya akan-Nya, tapi Dia tetap memberinya makan. Lalu Nabi Ibrahim pun memanggilnya kembali dan memberinya makan tanpa syarat.
Kedua, nilai lain yang melampaui sekat agama dan ketuhanan adalah “perdamaian”. Muhammad dan Samir, melalui hubungan keduanya, menunjukkan secara nyata bahwa perdamaian itu bukan utopia (khalayan). Ia bisa ditegakkan. Bahkan mudah, jika kita berpikiran jernih dan berhati tulus seperti keduanya.
Ini penting di tengah kondisi keberagamaan atau bahkan kebermazhaban pun yang dipenuhi sentimen, ketegangan, bahkan saling serang, seolah mustahil bisa berdamai.
Dan, seperti diperlihatkan keduanya, damai bukan berarti harus sama, melainkan membiarkan masing-masing dengan pilihannya dan saling beragkulan dalam damai.
Ketiga, bagi saya, foto itu memotret tentang sepatutnya melihat dan menyikapi perbedaan. Bagaimana kita melihat perbedaan sebagai rahmat dan menyikapinya dengan rahmat pula. Yang dilakukan Muhammad adalah memperlihatkan secara praktis tentang Islam sebagairahmatan lil ‘alamin, bukanlil muslimin saja.
Lagi pula, bukankan tak ada paksaan dalam agama? Dakwah takkan tegak dan justru menjadi batal jika dilakukan dengan paksaan. Dan saling berbagi keduanya adalah rahmat sekaligus dakwah terbaik keduanya.
Minimal, jika keduanya pun tetap dengan imannya masing-masing, keduanyatelah berbagi informasi tentang agamanya masing-masing dengan sebaik-baiknya cara. Selebihnya bukan lagi urusan keduanya, karena kata Allah, bahkan tugas Nabi Muhammad pun hanya “menyampaikan” agama Islam, bukan “memastikan” seseorang menjadi Muslim.
Keempat, kita yang meyakini Islam sebagai agama yang paripurna kebenarannya, bukan berarti menganggap agama lain, apalagi agama samawi sebagai agama yang salah atau tak memiliki dimensi kebenaran sama sekali, bukan? Bukankah ia adalah agama yang diturunkan Allah juga sebelum Islam, dan ia juga benar, hanya saja kemudian diturunkan Islam sebagai penyempurna yang paripurna?
Dan, bukankah bahkan kepada seorang munafik kita disuruh mengambil hikmah? Apalagi, bukankah meskipun agama kita benar, belum tentu diri kita dalam menjalankannya juga sudah benar seutuhnya? Maka, sudah sepatutnya kita menjalin relasi sebagaimana Muhammad dan Samir dalam beragama: menilai bahwa kebenaran ada di luar dan kita bisa meneladaninya, sebagaimana Muhammad yang meminjam penglihatan Samir. Atau bahkan foto itu bisa menjadi inspirasi empirik bagi dalil pluralisme agama.
Kelima, lalu bagaimana nasib keduanya jika“diadili”dengan teks tentang larangan seorang Muslim bersahabat dengan non-Muslim yang seringkali dianggap sebagai amanah dari Surat Ali-Imran: 28 atau Surat Al-Mumtahanah: 1? Tentu, saya canggung dan tak berani untuk mendudukkan keduanya di“kursi terdakwa”pengadilan fikih tersebut. Sebab, keduanya telah melampauinya, telah bermain di samudera universalisme Islam bagi Muhammad dan Nasrani bagi Samir.
Namun, jika pun harus menilai keduanya dalam kacamata teks tersebut, saran saya, jangan Anda hanya membaca teks itu secara harfiah dan jangan lupa melihatasbabun nuzulayat tersebut dan konteks yang mengitari Muhammad dan Samir.
Jangan pula hanya membaca ayat itu, baca ayat lain. Misalnya: ayat yang menghalalkan lelaki Muslim menikahi wanita Yahudi atau Kristen, serta ayat yang membolehkan kaum Muslim memakan makanan mereka, dan sebaliknya.
Atau, ayat yang menegaskan bahwa Allah tak melarang umat Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil pada non-Muslim yang tak memerangi mereka (Surat Al-Mumtahanah: 8). Dan ayat-ayat lain yang seolah bermakna sebaliknya dari dua ayat di atas.
Baca juga sejarah Nabi yang beraliansi dengan non-Muslim seperti dalam kisah hijrah para sahabat ke Habasyah, sejarah Piagam Madinah, permintaan bantuan Nabi pada Yahudi Bani Qainuqa atau kepada Shafwan bin Umayyah yang musyrik.
Jangan lupa pula membaca jumhur ulama dari kalangan Syafi’i, Hanafi, dan Hambali tentang tema tersebut yang cenderung positif dalam melihat fenomena semacam yang terjadi pada Muhammad dan Samir. Jangan sampai, apa yang terjadi pada Nabi Ibrahim, terjadi pula pada Anda: Anda menghakimi keduanya, dan Tuhan mempertanyakan, menghakimi, dan menyuruh Anda bertobat atas apa yang Anda lakukan atas keduanya.
Keenam, foto itu dipotret di Damaskus pada 1889, yang kini kota itu dan bahkan negaranya: Suriah, sudah porak-poranda lantaran kecamuk politik dan terorisme yang kian kita kerap kait-kaitkan dengan isu sektarian. Maka, melihat foto itu semacam sebuah romantisme.
Saya membayangkan, andai saja paradigma yang dipakai seluruh elemen di Suriah dan kita yang melihat serta mencoba menganalisanya adalah dengan paradigma ala Muhammad dan Samir, saya yakin apa yang terjadi di Suriah bisa selesai.
Minimal, ia takkan begitu mengerikan seperti saat ini, di mana masalah di sana menjadi komoditas semua pihak, termasuk kita di sini, untuk memproduksi kebencian sektarian.
Alhasil, terlalu banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari Muhammad dan Samir seperti terpotret dalam foto tersebut. Yang saya petik hanya salah satu buah dari pohon hikmah milik Muhammad dan Samir. Silakan Anda memetiknya juga untuk bekal hidup Anda, khususnya dalam keberagamaan di tengah keragaman.
Apalagi keberagamaan kita saat ini yang masih“sakit”: penuh sentimen, hujatan, bahkan konflik atas nama agama atau bahkan“sekadar”sekte.
Oleh: Husen Ja'far Al-Haddar